Kepo: Energi Sosial Paling Dominan Setelah Nasi dan Minyak Goreng

Oleh: Redaksi |
Kepo: Energi Sosial Paling Dominan Setelah Nasi dan Minyak Goreng
Indonesia, tanah air beta, adalah negeri yang luar biasa. Bukan hanya karena keindahan alamnya atau keragaman budayanya, tapi juga karena satu kekuatan sosial yang paling stabil dan paling tahan krisis: rasa kepo. Sebuah keinginan tulus, mendalam, dan tak pernah padam, untuk tahu urusan orang lain. 

Kepo adalah energi sosial paling dominan setelah nasi dan minyak goreng. Ia tidak mengenal kelas sosial, agama, atau orientasi politik. Dari ibu-ibu di grup WhatsApp RT sampai pejabat di Senayan, semua pernah, sedang, dan akan terus kepo. Bedanya hanya satu: seberapa halus cara mereka menyamarkannya sebagai “perhatian.”

Kepo sebagai Sistem Informasi Alternatif

Di banyak tempat, Google kalah cepat dari tetangga sebelah. Butuh tahu siapa yang baru pindah? Siapa yang semalam bawa motor jam 2 pagi? Siapa yang belum menikah padahal umur sudah “seharusnya”? Jawabannya bukan di mesin pencari, tapi di obrolan warung kopi dan pengajian ibu-ibu.

Sementara negara lain membangun sistem informasi berbasis data dan teknologi, kita membangun jaringan informasi berbasis kasak-kusuk. Satu informasi bocor, lima rumah sudah tahu. Dan entah kenapa, akurasinya 70% lebih tinggi dari portal berita yang pakai clickbait.

Dari Penasaran ke Persekusi: Evolusi Kepo

Masalahnya, kepo kita sering tidak berhenti di rasa ingin tahu. Ia menjelma jadi prasangka kolektif, lalu berubah jadi penghakiman massal yang sah karena “semua orang juga bilang begitu.”

Kepo adalah awal dari cyber bullying, fitnah, bahkan razia moral dadakan. Lihat orang berbeda dikit, cara berpakaian, cara bicara, pilihan hidup, langsung ramai-ramai nanya, “Dia normal nggak, sih?”

Kita jarang bertanya untuk mengerti. Kita lebih sering bertanya agar bisa menilai, dan kadang, menghakimi.
 

Apakah Kepo Bisa Jadi Etis?

Ada harapan. Kepo bisa dibangun menjadi curiosity yang sehat, yang membuka ruang empati, bukan ruang gosip. Tapi itu butuh satu hal yang langka: niat baik. Dan sayangnya, di antara Wi-Fi gratis dan update status, niat baik adalah yang paling jarang dapat sinyal.

Bayangkan jika rasa ingin tahu itu digunakan untuk saling memahami, bukan untuk saling memata-matai. Bayangkan kalau kita kepo soal bagaimana orang lain bertahan hidup, bukan soal kenapa dia belum nikah.

Kita Semua Kepo, Tapi Bisa Lebih Baik

Mari kita akui saja: kita semua kepo. Tapi seperti kekuatan super, kepo bisa digunakan untuk kebaikan, atau kekacauan.

Negara ini tidak kekurangan undang-undang, tapi sering kekurangan empati. Jadi lain kali, ketika kamu tergoda bertanya soal urusan pribadi orang lain, coba tanya dulu ke diri sendiri: “Aku peduli, atau cuma pengin tahu?” 

Kalau jawabannya yang kedua, lebih baik diam dan pesan es teh di warung.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS