Ini Bukan Tulisan, Tapi Keluhan yang Kebetulan Terketik

Oleh: Redaksi |
Ilustrasi Ini Bukan Tulisan, Tapi Keluhan yang Kebetulan Terketik
Kalau Anda sekarang sedang membaca tulisan ini, maka saya sudah berhasil. Bukan berhasil bikin tulisan yang cerdas, bukan juga tulisan yang informatif atau menginspirasi. Tapi berhasil menulis saja dulu, itu sudah cukup monumental. Karena satu jam sebelum tulisan ini ada, saya cuma duduk bengong sambil mantengin layar berkedip, keyboard sialan yang tak henti-henti mengingatkan bahwa saya belum ngetik apa-apa.

Saya tidak sedang dramatis. Atau, ya, mungkin sedikit. Tapi begitulah, dunia kepenulisan bukan selalu perkara gagasan mulia atau kalimat puitis. Kadang cuma soal duduk dan berharap keajaiban. Dan kadang (lebih sering sih), keajaibannya nggak datang.

Macet Ide, Lebih Menyiksa dari Macet Jakarta

Kata orang, menulis itu merdeka. Tapi saya mau menggugat sedikit: bagaimana bisa merasa merdeka kalau ide saja tak kunjung muncul? Ini bukan kemacetan lalu lintas yang bisa diakali lewat jalan tikus. Ini macet spiritual, jiwa penuh, tapi kata-kata nihil.

Sudah dicoba semua metode, buka-buka catatan lama. Dengar musik instrumental biar vibes-nya intelek. Scroll medsos, berharap ada yang menyulut inspirasi (malah jadi buka thread gosip). Bikin kopi, ngopi, bikin kopi lagi, repeat. Hasilnya nihil. Ide tetap minggat entah ke mana, mungkin sedang healing.

Lalu Apa yang Terjadi?

Saya menyerah. Iya, beneran. Menyerah nulis sesuatu yang punya maksud. Dan di titik itulah saya malah mulai nulis. Nulis tentang kegagalan nulis. Konyol? Bisa jadi. Tapi manusia juga dulu mungkin dibilang konyol waktu pertama kali memutuskan bikin roda. Eh sekarang malah jadi fondasi mobil.

Begitu berhenti mengejar tulisan ideal dan mulai menulis apa adanya, justru jari-jari ini mulai bergerak. Seperti keran yang mampet lalu tiba-tiba bisa netes juga walau cuma sedikit. Kalimat-kalimat awal ini bukan air bersih, mungkin lebih mirip rembesan. Tapi siapa tahu, rembesan juga bisa jadi mata air kalau dikasih waktu.

Kenapa Bisa Begitu?

Mungkin karena kita terlalu takut. Takut tulisan kita jelek. Takut tidak layak baca. Takut terlihat bodoh. Padahal kalau kita ingat, tulisan yang paling jujur sering kali lahir dari ketakutan itu sendiri. Dari rasa tidak tahu. Dari keraguan. Dari tanya-tanya yang tak ada jawabnya.

Saya jadi ingat kata-kata yang tidak saya ingat siapa yang bilang:
“Menulis bukan tentang tahu segalanya, tapi tentang berani duduk di hadapan kekosongan dan tetap mengetik.”
Apakah ini pepatah lama? Apakah saya barusan mengarangnya? Entahlah. Yang jelas, kalimat itu cukup menenangkan untuk saya tulis ulang di sini.

Apa Gunanya Tulisan Ini?

Mungkin tidak ada. Atau mungkin ini jadi semacam catatan kecil bahwa kebuntuan juga layak dicatat. Bahwa keinginan untuk menulis, meski tanpa hasil konkret, tetaplah bentuk keberanian. Dan bahwa kita tidak sendirian dalam rasa buntu itu.

Kita semua pernah duduk menatap layar, merasa gagal sebagai penulis, merasa bodoh karena tak bisa merangkai satu paragraf pun. Tapi hey, lihat sekarang. Saya menulis ini. Anda membacanya. Mungkin tidak banyak makna, tapi tetap ada. Kadang justru di balik “nggak ada ide”, tersembunyi banyak ide yang hanya butuh dibiarkan hidup. Bahkan yang ngaco pun, kalau ditulis dengan jujur, bisa bermakna.

Penutup

Tulisan ini bukan solusi. Tapi mungkin bisa jadi pengingat: Jika ide sedang pergi, jangan buru-buru dikejar. Bikin teh, duduk sebentar, dan tulis kegelisahanmu. Kadang kegelisahan itu sendiri adalah cerita yang pantas disuarakan.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS