Indonesia Menggugat: Stand-Up Politik Soekarno Roasting Kolonialisme

Oleh: Redaksi |
Buku Indonesia Menggugat

Buku Indonesia Menggugat adalah salah satu teks politik paling badas dalam sejarah Indonesia. Ini bukan sekadar naskah pledoi di pengadilan, melainkan manifesto revolusi yang dikemas dengan gaya pidato seorang orator ulung. Bisa dibilang, ini merupakan roasting paling intelektual terhadap kolonialisme Belanda, bukan dalam bentuk meme ataupun thread Twitter, tapi dalam esai serius yang bahkan para penjajahnya sendiri terpaksa baca.

Bagi generasi milenial yang mungkin lebih familiar dengan drama politik dibanding sejarah perjuangan, buku ini bisa jadi reminder bahwa dulu ada seorang pemuda yang berdiri di pengadilan kolonial, dan, alih-alih memohon keringanan hukuman, malah memberikan ceramah tentang betapa tololnya sistem penjajahan.

Eksistensialisme Bung Karno: Antara Pemberontakan dan Retorika

Soekarno dalam Indonesia Menggugat bukan hanya seorang terdakwa, tapi seorang filsuf dalam konteks perlawanan. Jika Jean-Paul Sartre bilang bahwa manusia harus memberontak terhadap absurditas hidup, maka Soekarno memberontak terhadap absurditas kolonialisme.

Bayangkan: seorang pemuda yang dipenjara karena “membahayakan negara” justru menggunakan ruang sidang untuk membedah ketidakabsahan hukum yang menjeratnya. Ini seperti seseorang yang kena tilang, tapi bukannya membayar denda, malah memberikan kuliah hukum kepada polisi tentang betapa kacau sistem peraturan lalu lintas.

Soekarno tidak hanya menyampaikan argumen hukum, tetapi juga filsafat kebangsaan. Ia menunjukkan bahwa penjajahan bukan hanya soal eksploitasi ekonomi, tetapi juga tentang bagaimana sistem kolonial membunuh harga diri suatu bangsa. Ini adalah argumen eksistensial yang tajam: manusia (atau bangsa) hanya bisa benar-benar hidup jika mereka bebas menentukan nasibnya sendiri.

Soekarno: Stand-Up Politik dengan Materi Anti-Kolonialisme

Kalau Indonesia Menggugat ditulis di era media sosial, kemungkinan besar Soekarno bakal jadi trending topic dengan hashtag #RoastTheColonizers. Karena selain isinya tajam, buku ini juga punya momen-momen yang bisa dibilang cukup savage.

Misalnya, ia menyindir bagaimana Belanda selalu berbicara tentang “membawa peradaban ke Hindia Belanda,” padahal realitanya mereka hanya membawa eksploitasi. Ini seperti seseorang yang datang ke rumahmu, menghabiskan makanan di kulkas, lalu berkata, “Tenang, aku sudah membantumu belajar berbagi.”

Pidato ini juga penuh dengan analogi yang membuat pesannya semakin kuat. Soekarno membandingkan kolonialisme dengan penyakit yang harus disembuhkan, dan rakyat Indonesia sebagai tubuh yang perlu melawan infeksi itu. Dalam konteks modern, ini bisa dianalogikan seperti menghadapi toxic relationship: selama kita tidak menyadari bahwa kita sedang dieksploitasi, kita akan terus berada dalam hubungan yang merugikan.

So, meskipun ditulis hampir satu abad yang lalu, Indonesia Menggugat tetap relevan, terutama di era ketika banyak orang masih memperdebatkan soal kedaulatan, keadilan sosial, dan bagaimana sebuah bangsa seharusnya berdiri di atas kaki sendiri.

Pada akhirnya, Indonesia Menggugat adalah bacaan wajib buat siapa pun yang ingin melihat bagaimana kata-kata bisa menjadi senjata paling ampuh dalam melawan ketidakadilan. Ini bukan buku sejarah biasa, melainkan sebuah masterclass dalam seni retorika, keberanian, dan intelektualitas perlawanan.

Jadi, kalau kamu bosan dengan konten-konten politik yang terlalu normatif, coba baca buku ini. Siapa tahu, setelah selesai, kamu jadi pengen menggugat sesuatu juga, entah itu ketidakadilan sosial, atau sekadar harga kopi susu yang makin lama makin mahal.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS