Filsafat Rebahan: Ketika Kasur Menjadi Ruang Meditasi Modern

Oleh: Redaksi |
Freepict
Ada satu posisi tubuh yang secara historis dianggap kurang terhormat dalam diskursus peradaban: rebahan. Para filsuf klasik duduk di taman, berdiri di agora, atau berjalan sambil debat. Tidak ada yang serius saat tubuh dalam posisi mendatar. Karena katanya, rebahan adalah tanda malas, kalah, dan tidak berguna. 

Tapi di zaman sekarang, ketika dunia makin bising dan orang makin sibuk sibuk sendiri, rebahan justru menjadi salah satu bentuk perlawanan paling kontemplatif.

Rebahan adalah seni menunda dunia. Ketika kamu rebahan, kamu tidak sedang mengejar target, tidak sedang ikut lomba, dan tidak sedang membuktikan apa-apa. Kamu hanya ada. Menjadi. Diam. Dan secara perlahan menyatu dengan kasur seperti tofu di kuah panas kehidupan.

Dalam posisi horizontal ini, pikiran manusia sering menemukan jalur aneh menuju kedalaman. Bukan karena kita sedang fokus, tapi justru karena kita sedang membiarkan pikiran melantur, seperti playlist Spotify yang auto-play tanpa tema. Kadang muncul pertanyaan eksistensial: “Aku hidup buat apa?” Di menit berikutnya, berubah jadi: “Kapan terakhir kali aku minum air putih?”

Rebahan membuka celah absurd antara kesadaran dan kemalasan. Di situlah terjadi semacam kejujuran tanpa pretensi. Saat kamu tidak harus menjelaskan hidupmu ke orang lain, kamu akhirnya bisa mendengar hidupmu sendiri.

Ironisnya, banyak orang yang rebahan tapi merasa bersalah. Karena kita hidup di dunia yang memuja kesibukan sebagai bentuk nilai diri. Padahal tidak semua gerak adalah makna. Dan tidak semua diam adalah kegagalan.

Mungkin kasur adalah tempat paling jujur bagi pikiran modern. Di kasur, kita tidak berperan. Tidak ada impresi yang harus dijaga, tidak ada caption yang harus ditulis, dan tidak ada Zoom meeting yang harus dihadiri. Hanya kamu, tubuhmu, dan keberadaan yang entah kenapa terasa sangat nyata justru saat kamu tidak ngapa-ngapain.

Jadi kalau ada yang bertanya, “Ngapain aja hari ini?” Jawab saja dengan bangga, “Rebahan. Aku sedang bertanya pada alam semesta, lewat kasurku.” Dan siapa tahu, Tuhan pun menjawab, lewat mimpi siang yang absurd tapi penuh makna.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS