![]() |
Stratifikasi sosial |
Mari kita bedah empat jenis lapar, empat strata sosial yang disatukan oleh satu kata kerja paling universal: makan.
1. Besok bisa makan atau tidak?
Ini adalah kasta terendah. Di sini, pertanyaan bukan soal rasa, bukan soal tempat, apalagi soal estetika plating. Ini soal bertahan hidup.Strata ini dihuni oleh mereka yang menatap nasi di etalase warung seperti filsuf Yunani menatap bintang, penuh harap, tapi sadar bahwa bintang itu jauh dan mahal.
Kalau Sokrates hidup di zaman ini dan nongkrong di emperan, mungkin ia akan berkata, “Aku lapar, maka aku ada. Tapi tidak ada uang, maka aku hilang dari daftar pelanggan.”
2. Besok makan apa?
Naik satu level, kita sampai di golongan yang punya kepastian makan, tapi masih negosiasi dengan selera. Mereka tak lagi dihantui soal “ada atau tidak”, tapi mulai bertanya: “Nasi goreng apa mie ayam?” Ini seperti naik dari kurikulum darurat ke kurikulum merdeka, pilihannya banyak, tapi tetap dibatasi isi dompet.Secara filosofis, strata ini menggambarkan transisi dari determinasi menuju kebebasan terbatas. Di sini manusia mulai merasa punya kuasa atas hidupnya, meskipun masih digiring iklan promo GoFood.
3. Besok makan di mana?
Nah, inilah kasta menengah-atas. Mereka yang makan bukan cuma untuk hidup, tapi untuk pengalaman makan.Pertanyaan bukan lagi soal rasa lapar, tapi soal estetika: suasana cafe, pencahayaan yang Instagramable, dan musik latar yang bikin quote galau lebih terasa.
Secara eksistensial, mereka sedang mencari makna di antara latte dan lasagna. Ada kehampaan batin yang coba diisi dengan menu fusion, entah Thai, entah Italia, pokoknya harus bisa difoto sebelum disantap.
4. Besok makan siapa?
Ini bukan lagi strata, ini sudah kerajaan karnivora elite. Bukan lagi soal makanan, tapi tentang kuasa. “Makan siapa” bukan berarti jadi kanibal (walaupun, dalam metafora sosial-politik, mungkin iya). Mereka adalah predator dalam ekosistem sosial: yang bisa “memakan” bawahan, pesaing, bahkan sistem itu sendiri.Orang-orang di strata ini bisa duduk di ruang AC sambil menentukan nasib ribuan orang yang masih berada di tahap “bisa makan atau tidak”. Ironisnya, mereka sering berkata “kita ini satu bangsa, satu nasib,” padahal jelas-jelas mereka makannya di rooftop hotel, dan yang lain makannya dari sisa hajatan.
Penutup
Stratifikasi sosial dalam konteks makan memperlihatkan bahwa manusia tak sekadar dikelompokkan berdasarkan ekonomi, tapi juga berdasarkan filosofi perut.Dari “apakah aku bisa makan” ke “siapa yang bisa aku makan”, perjalanan ini mencerminkan evolusi manusia dari makhluk lapar menjadi makhluk yang lapar kuasa.
Tapi jangan lupa, meskipun berada di strata paling atas, semua manusia pada akhirnya akan kembali ke tanah, dan jadi makanan bagi cacing. Satu-satunya sistem yang benar-benar setara adalah kompos.