Etika Bersin: Tutup Mulut, Jangan Tebar Nasib

Oleh: Redaksi |
Ilustrasi Etika Bersin: Tutup Mulut, Jangan Tebar Nasib
Bersin adalah momen mistis dalam hidup manusia. Ia datang tanpa permisi, meledak tanpa aba-aba, dan kadang mengubah takdir. Tapi yang lebih menentukan dari bersinnya bukan suara “hatsyi!”-nya, tapi keputusan mulut itu ditutup atau tidak.

Karena di titik itulah manusia diuji: apakah dia makhluk berbudaya atau penyebar nasib buruk berkedok pilek.

Bersin adalah Kebebasan, Tapi Jangan Sampai Kebangetan

Bersin itu hak asasi. Semua orang berhak bersin. Tapi sebagaimana hak-hak lain dalam demokrasi, ada batas yang tak boleh dilintasi. Misalnya: jangan bersin pas lagi antre bakso, terus tanpa mikir, nyemprot ke ubun-ubun orang depan. Itu bukan ekspresi tubuh, itu tindakan radikal.

Bersin sembarangan bukan soal etika kesehatan doang, tapi juga soal keberadaban. Karena begitu lendir dan hembusan napasmu menyentuh udara publik, kamu bukan lagi individu. Kamu jadi ancaman biologis.

Filsafat Tutup Mulut

Tutup mulut saat bersin bukan cuma tindakan higienis, tapi simbol kesadaran. Itu cara paling sederhana menunjukkan bahwa “aku ada, dan aku sadar keberadaan orang lain.”

Orang yang nggak nutup mulut saat bersin, kemungkinan juga orang yang nyolot di grup WA keluarga, ngebut di jalan kampung, dan ngisi seminar cuma buat selfie. Semua dari akar yang sama: tidak sadar bahwa dunia ini berisi makhluk lain selain dirinya.

Antara Kejujuran dan Kejahatan

Memang, bersin itu jujur. Ia muncul dari ketidaksabaran hidung terhadap realitas. Tapi kejujuran tanpa filter bisa jadi kejahatan. Seperti orang yang bilang “Aku orangnya to the point ya” lalu langsung ngatain hidup orang lain kayak sinetron gagal tayang. 

Maka bersin juga butuh sensor. Bukan untuk membungkamnya, tapi biar nggak jadi bencana.

Kamu Manusia, Bukan Mesin Penyemprot Nasib

Setiap kali mau bersin, ingat satu hal: dunia ini sudah cukup kacau tanpa tambahan bakteri dari hidungmu. Tutup mulut bukan berarti menindas hak-hak biologis, tapi merayakan kebijaksanaan sosial. Karena dunia butuh lebih banyak orang yang tahu kapan harus membuka suara, dan kapan harus menutup mulut.

Toh kita bukan dinosaurus. Kita punya lengan, sapu tangan, dan kesadaran. Pakailah itu sebelum pakai alasan.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS