Buzzer: Jasa Salon Kekuasaan Biar Selalu Glowing

Oleh: Redaksi |
Di tengah dunia yang katanya demokratis ini, kita menyaksikan satu fenomena aneh tapi nyata: penguasa yang memelihara buzzer. Seolah-olah, di balik jas formal dan pidato berapi-api, tersembunyi satu ketakutan mendasar: tidak dipercaya rakyat. Dan karena tak dipercaya, mereka butuh para pendengung digital, buzzer, untuk membuat seolah-olah kepercayaan itu ada. Padahal tidak.

Bayangkan seorang raja yang masuk ke pasar, lalu membayar orang-orang agar bersorak menyambutnya. Rakyat asli diam saja, tapi di depan kamera, seolah-olah cinta bersemi di antara penguasa dan warganya. Persis seperti itu. Kekuasaan hari ini, alih-alih membangun legitimasi lewat kebijakan bijak dan keadilan sosial, justru memilih jalan pintas: suara nyaring dari orang-orang yang dibayar untuk tidak jujur.

Lucunya, buzzer ini bukan hanya menyuarakan yang tak benar, tapi juga membungkam yang benar. Seorang warga mengkritik harga sembako naik? Langsung dihajar narasi “anti-pembangunan.” Mahasiswa protes tambang yang merusak lingkungan? Diserang balik sebagai antek asing. Padahal yang asing itu justru yang mengeruk tanah air dengan restu istana.

Ada filosofi tua dari Plato, katanya pemimpin sejati adalah philosopher-king, raja yang bijaksana karena mencintai kebenaran, bukan pujian. Tapi yang kita dapat hari ini malah endorsement-king, yang lebih peduli angka engagement di Twitter daripada nasib petani di lereng gunung. Bukannya membangun argumen, yang dibangun justru algoritma.

Kalau kita tilik lebih dalam, pemeliharaan buzzer adalah pengakuan diam-diam bahwa kekuasaan merasa rapuh. Ia tidak percaya pada kualitas dirinya sendiri, maka ia butuh cermin palsu yang selalu berkata, “Tuan tampan sekali hari ini.” Seperti Ratu dalam dongeng yang bertanya pada cermin ajaib, “Siapa yang paling mulia di negeri ini?” Dan cermin itu, selama dibayar, akan terus menjawab sesuai pesanan.

Kekuasaan yang tulus tidak butuh buzzer. Ia cukup duduk tenang, mendengarkan suara rakyat yang nyata, walau kadang kasar dan pahit. Karena dari suara itulah ia bisa tahu mana yang harus dibenahi. Tapi buzzer membuat semuanya terdengar baik-baik saja. Seperti dokter yang bilang pasiennya sehat hanya karena dibayar lebih.

Ironisnya, buzzer bukan cuma merusak diskursus publik. Ia juga membuat penguasa makin jauh dari kenyataan. Dikepung oleh pujian palsu, kritik dibungkam, saran dibisukan, akhirnya, penguasa hidup dalam dunia imajinernya sendiri. Seperti raja telanjang dalam kisah Hans Christian Andersen, semua orang tahu ia tanpa busana, kecuali dia sendiri. Dan para buzzer, tentu saja, akan terus berseru, “Wah, betapa mewah jubahnya!”

Mengutip pemikir kontemporer, seorang filsuf fiktif bersi ngauris bernama Wakijan pernah bilang di warung kopi, “Orang yang terlalu sering dipuji, akhirnya jadi budak pujian.” Maka jangan heran jika hari ini kita melihat pejabat yang alergi kritik tapi doyan trending. Karena bagi mereka, kebenaran bukan lagi soal realitas, tapi soal siapa yang paling keras bersuara.

Dan yang paling keras, seperti kita tahu, bukan selalu yang paling benar. Tapi seringkali, yang paling dibayar.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS