![]() |
Ilustrasi Barak Militer buat Anak Nakal: Pendidikan atau Seragaminasi Nasional? |
Kadang, dunia pendidikan Indonesia rasanya seperti sinetron yang nggak ada habisnya: selalu ada episode baru yang bikin kita pengen bilang, “Lah, ini serius?”
Seperti diberitakan oleh Mojok.co, Kali ini, giliran Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) yang kebakaran jenggot. Bukan karena nilai UN turun atau kurikulum ganti mendadak, tapi karena wacana aneh bin ajaib soal menjadikan program barak militer untuk anak nakal sebagai kebijakan nasional. Iya, anak-anak yang katanya “nakal” dikirim ke tempat ala-ala pelatihan tentara. Kayak Hogwarts, tapi tanpa sihir, dan banyak push-up.Program ini bukan rumor belaka. Beberapa kepala daerah udah mulai main kirim-kiriman murid bermasalah ke barak. Salah satu yang paling getol adalah Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Beliau bukan cuma mikir, tapi udah action. Program pendidikan semimiliter ini dilaksanakan di dua tempat: Lapangan Kujang Rindam III/Siliwangi, Bandung, dan Markas Menarmed 1 Kostrad di Purwakarta. Dedi gandengan tangan sama TNI AD, bikin barak jadi semacam cabang baru dari sekolah.
Kata Dedi, ini semua demi menyelamatkan anak-anak dari nasib jadi generasi mager dan tidak kompetitif. “Maka, salah satu pilihannya adalah melibatkan TNI-Polri menjadi bagian dari upaya pembinaan mereka.” Selasa (29/5/2025) lalu.
Dan jangan dikira ini cuma soal baris-berbaris. Di sana, anak-anak akan diajari hidup disiplin: beresin tempat tidur, sarapan on time, olahraga, bahkan puasa Senin-Kamis dan ngaji ba’da magrib buat yang muslim. Gaya hidup sehat ala militer dipadu spiritualitas ringan.
Nah, masalahnya bukan cuma program ini eksklusif buat anak yang dicap nakal, tapi juga karena ide ini mau direplikasi secara nasional oleh Menteri HAM Natalius Pigai. JPPI langsung pasang badan.
Untuk itu, JPPI bawa empat tuntutan, bukan ke pengadilan, tapi ke akal sehat kita semua:
Nah, masalahnya bukan cuma program ini eksklusif buat anak yang dicap nakal, tapi juga karena ide ini mau direplikasi secara nasional oleh Menteri HAM Natalius Pigai. JPPI langsung pasang badan.
Menurut Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI, ini bukan solusi, tapi sinyal bahaya dari negara yang udah nyerah total sama pendidikan. “Bagaimana mungkin, di era modern ini, pemerintah justru melirik model pendidikan yang kaku dan represif ala militer sebagai solusi? Ini adalah penghinaan terhadap akal sehat dan pengingkaran terhadap esensi pendidikan yang seharusnya membebaskan, memberdayakan, dan mengembangkan potensi anak secara holistik,”Wahai negara, pendidikan itu bukan pangkalan militer. Kalau anak bandel dikasih barak, itu bukan mendidik, tapi membungkam. Dan kalau dijadiin kebijakan nasional, menurut Ubaid, itu jelas-jelas bukti bahwa Kemendikdasmen sudah angkat tangan. Lempar handuk. Gagal total.
“Memaksakan model barak militer yang sarat dengan disiplin kaku dan potensi kekerasan justru akan membunuh potensi anak, mematikan nalar kritis, dan menciptakan generasi yang patuh buta tanpa memiliki kemerdekaan berpikir,” kata Ubaid.Sekolah itu mestinya jadi rumah kedua, bukan barak cadangan. Tempat anak belajar sambil ketawa, bukan baris sambil digertak. Tempat tumbuhnya nalar, bukan lapangan parade.
Untuk itu, JPPI bawa empat tuntutan, bukan ke pengadilan, tapi ke akal sehat kita semua:
- Batalkan wacana barak militer sebagai kebijakan nasional.
- Minta pertanggungjawaban moral dan profesional para penggagas ide ini.
- Evaluasi total kinerja Kemendikbudristek.
- Fokus perkuat pendidikan yang humanis, inklusif, dan memanusiakan manusia.
“Jangan gadaikan masa depan anak-anak Indonesia dengan solusi instan dan militeristik yang justru akan menghancurkan fondasi pendidikan yang seharusnya kita bangun dengan susah payah. Kami tidak akan tinggal diam melihat kemunduran ini,” tegas Ubaid.Dan terakhir, JPPI ajak seluruh rakyat semesta, guru, orang tua, siswa, aktivis pendidikan, untuk lawan barakisasi pendidikan. Karena masa depan bangsa tidak bisa dibentuk dengan push-up dan hormat kanan.