![]() |
Ilustrasi angkringan |
Warung kopi, meskipun secara ekonomi bisa dikategorikan sebagai usaha mikro, secara sosial merupakan laboratorium sosial yang dinamis. Di sinilah praktik solidaritas berlangsung tanpa perlu deklarasi ideologis atau manifesto resmi. Di bawah tenda sederhana dan di balik aroma kopi tubruk yang kuat, muncul jaringan informal yang mampu memediasi konflik sosial, menumbuhkan rasa saling percaya, dan memperkuat kohesi komunitas.
Warung kopi bukan cuma tempat ngopi, tapi semacam “markas besar” tanpa seragam, di mana para tetangga, pedagang, dan tukang ojek kumpul dan saling support. Mereka mungkin tidak membicarakan teori Marx atau Gramsci, tapi dengan saling bantu bayar hutang kopi, ikut jaga warung waktu pemiliknya sedang sibuk, dan adu cerita tentang kehidupan, mereka sudah menjalankan bentuk keadilan sosial yang nyata.
Kalau kita pikir-pikir, sulit membayangkan teori Marxisme atau sosialisme dalam bentuk cetak biru yang kaku bisa lebih hidup daripada percakapan santai dan bantuan kecil antar pelaku ekonomi informal ini. Bahkan, boleh jadi warung kopi pinggir jalan adalah “pabrik” paling produktif bagi pembentukan solidaritas sosial yang riil dan inklusif.
Tentunya, ini bukan berarti kita mengabaikan pentingnya ideologi dan perjuangan politik formal. Namun, dari sisi praksis, warung kopi kecil itu sudah menunjukkan bahwa keadilan sosial dan solidaritas tidak harus berbalut jargon rumit atau doktrin berat. Kadang, yang kita butuhkan adalah secangkir kopi hangat, tempat duduk sederhana, dan ruang untuk berbagi sesama.
Jadi, kalau ada yang bertanya, “Apa yang lebih kiri dari warung kopi pinggir jalan?” mungkin jawabannya adalah, tidak ada yang lebih kiri dari itu, karena di sanalah kiri itu sebenarnya hidup.