Anggaran, Rakyat, dan Rahasia Rapat yang Tak Terungkap

Oleh: Redaksi |
Ilustrasi - Anggaran, Rakyat, dan Rahasia Rapat yang Tak Terungkap
Di suatu negeri yang katanya demokratis, ada kisah cinta abadi antara anggaran dan para pemegang kuasa. Mereka saling memahami, saling melengkapi, dan yang paling penting: saling menjaga rahasia. Di tengah hubungan mereka yang hangat itu, ada satu pihak yang selalu jadi pihak ketiga, rakyat. Tapi tenang saja, rakyat sudah terbiasa tidak diajak bicara. Bukan karena bodoh, tapi karena dianggap terlalu “banyak tanya”.

Setiap tahun, anggaran disusun dengan cinta dan penuh filosofi. Ada yang untuk pelatihan, seminar, studi banding, dan tentu saja, rapat luar kota yang tidak boleh terlewatkan. Anggaran pun tersenyum manis, karena tahu dirinya akan dipakai dengan penuh perhatian. Disusun, dibelanjakan, lalu dilaporkan dengan narasi indah bernama “LPJ”.

Sementara itu, rakyat diam. Seperti biasanya. Karena suara rakyat hanya keras saat pemilu, setelah itu kembali jadi suara angin. Sekalinya bertanya, dibilang tidak tahu prosedur. Sekalinya protes, dibilang tidak paham teknis. Sekalinya kritik, langsung diberi undangan klarifikasi yang tegang.

Lucunya, dalam cerita ini, anggaran seolah hidup. Ia berjalan sendiri, mengunjungi hotel, restoran, dan destinasi wisata yang tidak pernah tertulis terang-terangan di proposal. Tapi semua tahu, anggaran itu anak baik. Ia hanya mengikuti ke mana kebijakan membawanya. Kalau kebijakannya tersesat, ya anggaran ikut saja. Toh yang disalahkan nanti bukan anggaran, tapi cuaca, kondisi lapangan, atau “perubahan mendadak yang di luar kendali”.

Rakyat pun terus menonton. Kadang mangkel, kadang geli, kadang sudah terlalu capek untuk peduli. Karena rakyat tahu, mereka hanya bagian dari latar belakang cerita ini. Tidak dapat peran utama, bahkan dialog pun tidak. Tapi jangan khawatir, tugas rakyat tetap mulia: bayar pajak, diam, dan pasrah.

Dalam sistem ini, transparansi hanya slogan, efisiensi cuma wacana, dan partisipasi publik adalah hiasan PowerPoint. Tapi mungkin begitulah cara kerja romansa birokrasi modern: yang penting semuanya tampak rapi, meski maknanya kosong. Karena yang terpenting bukan apa yang dilakukan, tapi bagaimana cara menyusunnya jadi SPJ.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS