Tahanan Bukan Tumbal Nafsu: GMNI Pacitan Ajak Polres Cuci Dosa Institusi

Oleh: Redaksi |

Suasana audiensi GMNI bersama Polres Pacitan

PACITAN – Puluhan mahasiswa dari DPC GMNI Pacitan turun ke jalan, Senin (22/4). Dengan semangat membara dan suara toa yang siap menyaingi konser metal, mereka menuntut evaluasi menyeluruh terhadap institusi Polres Pacitan. Ini buntut dari dugaan rudapaksa yang dilakukan oleh oknum polisi berinisial LC terhadap tahanan perempuan berusia 21 tahun asal Wonogiri.

Long march menuju Mapolres Pacitan menjadi panggung ekspresi publik. Di bawah terik matahari (dan sorotan kamera HP warga), orasi demi orasi dikumandangkan. Ketua DPC GMNI Pacitan, Dela Prastisia, berdiri di depan barisan dengan sikap tegas. “Kami datang bukan karena marah semata, tapi karena keadilan tidak boleh dilacurkan oleh kekuasaan yang sewenang-wenang!” teriaknya, disambut gemuruh tepuk tangan dan klakson random dari ojek online yang lewat.

Rekan seperjuangannya, Revin Safi’i, ikut membakar semangat massa. “Polri itu punya mandat melindungi rakyat, bukan malah jadi ancaman buat yang rentan! Jangan biarkan predator berkeliaran pakai seragam!” katanya dengan nada yang membuat tembok Polres mungkin ikut merenung.

Setelah orasi panas membara yang disampaikan dengan gaya penuh semangat dan logika tajam (plus volume yang bisa ngalahin toa masjid), GMNI Pacitan akhirnya masuk ke tahap yang lebih serius tapi tetap elegan: dialog dan penyampaian pernyataan sikap resmi.

Aksi ini bukan sekadar aksi, tapi semacam “kelas filsafat hukum” di ruang Rupatama Polres, dengan materi utama: Evaluasi Total dan Pencegahan Predator Berseragam.

Ketua DPC GMNI Pacitan, Dela Prastisia, bersama rekan-rekannya, menyampaikan tiga poin utama yang Ngauris sebut sebagai “trinitas tuntutan keadilan”, nggak ada hubungannya sama film superhero, tapi isinya jauh lebih serius, yang kurang lebih seperti ini kalau dibuat versi Ngauris:

  1. Kecaman keras terhadap dugaan rudapaksa oleh oknum polisi inisial LC, karena predator bukan cuma ada di National Geographic, tapi juga bisa muncul dari balik seragam.
  2. Tuntutan evaluasi total terhadap sistem pengawasan, dari rekrutmen sampai SOP penjagaan tahanan. Intinya: jangan sampai seragam malah jadi selimut kejahatan.
  3. Permintaan jaminan keamanan bagi semua tahanan, khususnya perempuan, sesuai UU Pemasyarakatan. Karena, kata mereka, tahanan juga manusia. Breaking news buat yang lupa.

Wakapolres Kompol Pujiyono, dalam gaya khas aparat yang cool tapi waspada, menyatakan bahwa evaluasi sudah dan akan terus dilakukan. Langkah mitigasi juga katanya sudah jalan, walau mahasiswa berharap itu bukan cuma “jalan-jalan wacana”, tapi benar-benar sampai tujuan.

“Harapan kami mitigasi itu bukan wacana yang naik turun seperti sinyal HP di hutan. Harus nyata dan maksimal!” kata Dela dengan ekspresi serius tapi tetap sopan.

Kapolres AKBP Ayub Diponegoro Azhar pun menutup forum dengan pernyataan yang cukup “wise”, mengingatkan GMNI agar terus jadi kekuatan moral dan sosial. “Kritis boleh, nyinyir jangan. Tapi kalau nyinyirnya solutif, kita dengerin kok,” kira-kira begitu intinya kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Ngauris.

Aksi ini ditutup dengan penandatanganan pernyataan sikap bersama. Sebuah gesture simbolik yang bisa jadi lebih sakral dari naskah deklarasi kemerdekaan (setidaknya untuk hari itu). Mahasiswa pulang dengan kepala tegak. Polisi pun pulang dengan PR menumpuk.

Dan masyarakat? Semoga pulang membawa harapan: bahwa di negeri ini, keadilan masih punya harapan… asal nggak ditunda-tunda terus.

Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS