Scroll Tak Berujung: Sebuah Ritual Kontemporer

Oleh: Redaksi |
Ilustrasi AI
Kita hidup di zaman yang lucunya tragis. Zaman di mana orang bisa tahu siapa yang habis ghosting siapa lewat story, tapi nggak tahu gimana kabar dirinya sendiri.

Zaman di mana keheningan bukan lagi sunyi, tapi sinyal lemah. Zaman ketika orang lebih tahu siapa yang lagi selingkuh dari story Instagram, tapi lupa gimana rasanya ngobrol sama diri sendiri.

Scroll tanpa tujuan bukan cuma kebiasaan iseng, ia adalah meditasi absurd versi era digital. Diam, rebahan, dan berharap: semoga ada satu postingan yang bisa bikin hari ini terasa berarti. Atau setidaknya, terasa lucu. Scroll tanpa tujuan bukan sekadar kebiasaan buruk, ia adalah ritual kontemporer.
 
Kontemplasi Lewat Ibu Jari

Ibu jari kita adalah biksu modern. Ia bergerak pelan, penuh repetisi, tanpa banyak bicara, tapi terus mencari. Mencari apa? Kita pun nggak tahu.

Kamu mulai dengan niat polos: “Cuma mau lihat bentar, kok.” Tiga puluh menit kemudian, tiba-tiba tahu cara membuat mie dari tepung singkong, sejarah kenapa burung unta nggak bisa terbang.

Kita tertarik, terhisap, dan tenggelam. Sama seperti filsuf yang menyusuri jalan pemikiran, kita menyusuri jalan tak kasat mata bernama algoritma. Bedanya, mereka pakai buku, kita pakai reels.

Filsafat di Ujung Jempol

Jempol bukan lagi sekadar bagian tubuh. Ia kini punya tanggung jawab eksistensial. Saat kamu scroll, kamu sebenarnya sedang mengajukan pertanyaan: “Apa yang sedang terjadi di dunia, dan apakah aku bagian dari itu?”

Scroll adalah bentuk baru dari pencarian akan makna. Tapi bukannya baca Sartre atau Nietzsche, kita nontonnya prank tukang gorengan. Dan anehnya, kita tetap merasa tercerahkan sedikit. Di situlah filsafat pop hidup, di antara kekonyolan dan kerinduan.

Kerinduan pada sesuatu yang bikin hidup ini terasa lebih dari sekadar rutinitas. Scroll itu bukan malas. Scroll itu upaya lembut untuk bertahan. Untuk tetap nyambung, bahkan kalau hidup nggak jelas sinyalnya.

Meditasi Absurd

Albert Camus pasti akan kagum (atau ngakak) melihat generasi sekarang, meditasi bukan lagi duduk diam di gunung, tapi rebahan sambil scroll. Tapi mungkin, inilah meditasi modern: Tak berniat menemukan apapun, tapi berharap bertemu sesuatu.

Tak tahu sedang cari apa, tapi takut berhenti. Karena di setiap swipe, kita merasa: “Mungkin ini… yang aku butuh.” Padahal kita juga sadar, itu semua semu. Tapi kita ulang lagi. Itu yang bikin absurd. Kita tahu ini bodoh, tapi kita teruskan. Dan mungkin itulah yang membuatnya terasa jujur.

Akhirnya, Kita Ketemu Diri Sendiri (Atau Setidaknya, Versi Virtualnya)

Scroll membawa kita ke satu tempat: bukan ke pencerahan, tapi ke cermin virtual, tempat kita melihat versi paling liar, paling spontan, paling jempolan dari diri kita sendiri.

Kita bukan lagi manusia yang penuh pertanyaan, tapi manusia yang terus cari distraksi. Dan justru dari distraksi itu, kadang muncul makna baru.
Di dunia yang cepat, sunyi sering terasa lebih menyakitkan daripada kebisingan. Maka kita pilih scroll. Karena di sana, ada ilusi bahwa dunia masih berjalan, bahwa kita masih jadi bagian dari keramaian. Mungkin kita nggak nemu jawaban. Tapi kita nggak sendirian nyarinya. Dan itu cukup untuk hari ini.

Penutup yang Nggak Serius Tapi Serius
Jadi, besok kalau kamu bangun tidur, dan tanpa sadar buka HP buat scroll, jangan terlalu cepat merasa bersalah. Anggap saja itu bentuk ziarah spiritual zaman digital. Ziarah ke timeline penuh absurditas, tempat kamu mencari secuil tawa, atau mungkin sedikit harapan.

Dan kalau orang lain bilang, “Ngapain sih scroll mulu? Nggak capek?”

Kamu tinggal jawab sambil senyum tipis: “Aku sedang mencari makna di antara meme dan mantan.”

Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS