![]() |
Ilustrasi AI |
Pernah merasa waktu berjalan terlalu cepat saat bersenang-senang, tapi terasa kayak siput kalau lagi bosan? Atau pernah mikir kenapa kita selalu mengejar waktu, padahal kita sendiri yang menciptakan konsepnya? Kita sudah menjebak waktu dalam dua belas angka di jam dinding, membingkainya dalam kalender, tapi kenapa rasanya waktu tetap kabur begitu saja?
Dunia modern sangat terobsesi dengan waktu – jadwal padat, tenggat waktu, dan pengingat di ponsel yang terus berbunyi. Tapi, pernah nggak kita benar-benar berhenti sejenak dan bertanya: Apakah waktu itu nyata, atau cuma sesuatu yang kita sepakati bersama?
Kenapa Waktu Selalu Maju dan Nggak Pernah Mundur?
Seandainya kita bisa memutar waktu, pasti seru ya? Bisa mengulang momen-momen indah atau memperbaiki kesalahan. Sayangnya, waktu selalu berjalan maju tanpa bisa ditarik mundur. Tapi, kenapa bisa begitu?
Salah satu penjelasan paling terkenal datang dari hukum termodinamika, khususnya konsep entropi. Singkatnya, alam semesta selalu bergerak ke arah yang lebih berantakan. Cangkir yang jatuh dan pecah nggak akan tiba-tiba menyatu lagi. Tubuh kita bertambah tua, bukan muda kembali. Hal inilah yang disebut panah waktu, arah alami dari segala sesuatu di alam semesta.
Tapi, fisika modern justru memperumit segalanya. Albert Einstein dalam teori relativitasnya bilang kalau waktu itu nggak mutlak. Waktu bisa berjalan lebih lambat kalau kita bergerak mendekati kecepatan cahaya. Artinya, waktu itu fleksibel – tergantung dari sudut pandang si pengamat.
Lebih gila lagi, di dunia mekanika kuantum, waktu nggak selalu bergerak satu arah. Beberapa fenomena fisika bisa terjadi bolak-balik tanpa perbedaan antara masa lalu dan masa depan. Jadi, kalau di tingkat mikroskopis waktu bisa berperilaku aneh, kenapa kita sebagai manusia hanya bisa mengalami waktu secara linear?
Waktu: Kenyataan atau Cuma Ilusi Pikiran?
Kalau kita tanya ke Immanuel Kant, dia bakal bilang kalau waktu itu bukan sesuatu yang benar-benar ada di luar sana, tapi cuma cara otak kita mengorganisir pengalaman. Sederhananya, manusia butuh “alat” untuk memahami perubahan, dan alat itu adalah konsep waktu.
Sementara itu, Henri Bergson membedakan antara waktu ilmiah (yang bisa diukur pakai jam dan kalender) dengan waktu pengalaman (yang kita rasakan secara subjektif). Inilah alasan kenapa satu jam kelas yang membosankan terasa kayak seabad, sementara satu jam nongkrong bareng teman rasanya cuma sebentar.
Bahkan, konsep waktu berbeda di tiap budaya. Di dunia Barat, waktu itu linear, bergerak dari masa lalu ke masa depan. Tapi, dalam beberapa budaya Timur, waktu lebih dipandang sebagai sesuatu yang siklis. Misalnya, dalam Hindu dan Buddhisme, waktu adalah rangkaian siklus kelahiran dan reinkarnasi yang terus berulang.
Jadi, apakah waktu itu benar-benar nyata, atau cuma cara kita memberi makna pada perubahan?
Kita Semua Terjebak dalam Kontrak yang Nggak Pernah Kita Tanda Tangani
Pernah kepikiran siapa yang pertama kali memutuskan kalau sehari harus 24 jam, atau seminggu harus 7 hari? Kita semua lahir dan otomatis menerima aturan ini, tanpa pernah diminta membaca syarat dan ketentuan.
Padahal, sistem waktu itu sendiri berubah-ubah sepanjang sejarah. Suku Maya punya kalender sendiri. Kalender Julian dan Gregorian pun berbeda. Bahkan konsep zona waktu baru ada sejak manusia mulai menggunakan kereta api dan butuh jadwal yang seragam.
Teknologi modern makin memperjelas bahwa waktu itu relatif. Dulu, kita harus kerja dari jam 9 sampai jam 5. Sekarang? Orang bisa kerja dari mana saja, kapan saja. Notifikasi HP terus berbunyi tanpa peduli pagi atau malam. Kita nggak lagi terikat oleh waktu fisik, tapi justru makin dikendalikan oleh ritme digital yang nggak kenal henti.
Kalau manusia sendiri yang menciptakan konsep waktu, kenapa kita tetap merasa dikejar olehnya?
Waktu Nggak Mengejar Kita, Kita yang Mengejar Waktu
Jadi, kalau kita udah menjebak waktu dalam dua belas angka, kenapa dia masih terus kabur? Mungkin karena kita sendiri yang terus mengusirnya. Tiap jadwal yang kita buat, tiap deadline yang kita patuhi, tiap “nanti aja deh” yang berujung nggak pernah dikerjakan, semua itu adalah bahan bakar yang membuat waktu terasa semakin cepat berlalu.
Tapi, kalau waktu memang lebih banyak dipengaruhi oleh persepsi kita, berarti kita bisa mengubah cara untuk menghadapinya. Kita nggak harus selalu hidup dengan perasaan dikejar waktu. Mungkin, yang perlu kita ubah bukanlah cara kita mengukur waktu, tapi cara kita mengalaminya.
Karena pada akhirnya, waktu itu nggak benar-benar bergerak. Hanya kesadaran kita yang mengalaminya sebagai sesuatu yang berlalu.
Dan kalau kita bisa memahami itu, mungkin, setidaknya untuk sesaat, kita sudah melampaui batasan waktu itu sendiri.
*Tulisan ini sebelumnya tayang di Medium.