![]() |
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Berkas:Feminism_symbol.svg |
Ada kalimat tua yang sering kita dengar, katanya: “Perempuan itu lebih ke perasaan, laki-laki itu logika.”
Kalimat ini udah kayak lagu lawas, diputar terus di acara kawinan, seminar motivasi, sampe di grup WA keluarga. Tapi sebenernya, kalimat itu bukan tiba-tiba nongol dari langit, Bung. Ada latar belakang filosofisnya: Tuhan bikin manusia itu kayak ngeracik kopi susu, harus pas antara pahit dan manis.
Kalau semua manusia isinya logika semua, dunia ini mungkin udah meledak dari kemarin-kemarin. Jadi ya, perempuan itu disetel default-nya pabrik sebagai “malaikat perasa”. Biar dunia nggak kering-kering amat. Sementara laki-laki, dikasih otak logika lebih tebel, buat mikirin bagaimana caranya nyalain kompor atau pasang rak IKEA tanpa manual.
Kadang kita pengen banget ngerti semua maksud Tuhan: kenapa perempuan lebih sensi, kenapa laki-laki lebih cuek, kenapa kucing bisa ngilang pas dipanggil. Tapi sorry aja, otak kita nggak disetel buat ngakses server utama.
Makanya, Pancasila aja naruh “Ketuhanan” di urutan pertama. Artinya? Ada sesuatu yang emang harus diterima, bukan dioprek kayak skripsi revisian.
Begitu orang lupa sama dimensi ilahi ini, lahirlah fenomena lucu: Perempuan-perempuan ngamuk bawa spanduk “Setara! Bebas! Equal!.” Mereka gerah. Katanya, masa perempuan cuma dikaitin sama perasaan melulu? Mereka pengen ngasih tau, “Hei, kami juga bisa logika, bukan cuma nangis nonton K-Drama.” Dan… fair enough.
Tapi kalau dilihat lebih dalam, kadang yang terjadi malah begini: Saking pengennya dianggap rasional, perempuan malah terjebak di logika berlebihan. Perasaannya dikurung kayak kucing disuruh puasa. Padahal, perasaan itu kan justru harta karun.
Kalau dunia kehilangan perasaan perempuan, mungkin bumi udah kayak Mars sekarang: gersang, sunyi, dan isinya cuma angin ribut.
Laki-laki juga punya perasaan, walaupun sering kedoknya dipake buat pura-pura kuat. Kalau ada cowok habis diputusin terus bilang, “Ah, gue fine aja, kok” , percayalah, itu sama kayak kucing bilang, “Aku nggak butuh ikan.”
Intinya, semua manusia dikasih dua mesin, otak dan hati. Tapi kayak dalam tim sepak bola, ada yang diplot lebih banyak nyerang, ada yang diplot lebih banyak bertahan. Perempuan: pemain kreatif, rajin ngoper rasa. Laki-laki: tukang jagain pertahanan, sok-sokan kalem.
Kalau kamu perempuan, dan kamu sekarang lagi demam ingin setara, bebas, dan teriak “Aku bisaaa!”, santai dulu. Hidup itu bertahap, kayak main game, level 1 itu tutorial, bukan langsung jump scare bos terakhir. Apa yang keren waktu kamu umur 20, bisa jadi keliatan konyol waktu kamu 40. Yang bikin kamu bangga waktu belum punya anak, bisa jadi cuma bikin ketawa getir pas udah jadi emak-emak.
Jadi… jangan buru-buru pengen mendobrak semua “pagar”. Cek dulu, karena pagar itu kadang bukan buat nahan kamu, tapi buat jagain kamu dari lubang jebakan hidup yang dalamnya kayak utang KTA.
Pegiat feminisme yang kelewat semangat kadang lupa: Segala yang berlebihan itu kayak mie instan kebanyakan micin, bikin bahagia bentar, abis itu sakit kepala.
Semangat boleh. Tapi kalau udah kayak perang salib atas nama kesetaraan, ya malah jadi ekstrim baru. Kita udah lihat sejarah: fanatisme itu selalu berujung duka, baik di politik, agama, bahkan di fandom K-Pop.
Mau ngomong apa aja? Bebas. Semua orang berhak teriak, jangan lupa semua orang juga punya hak buat nggak pengen dengerin ocehan yang bikin migren. Itu sih, pelajaran paling sederhana buat nerapin Pancasila level bocil.
Perempuan itu keren. Laki-laki juga keren. Yang nggak keren itu kalau kita sibuk banget pengen dianggap keren, sampe lupa ngurus hatinya sendiri.
Karena pada akhirnya, kualitas manusia bukan di seberapa keras dia teriak, tapi seberapa jernih dia menghidupi perannya. Mau perempuan atau laki-laki, hidup ini soal balans, bukan soal lomba adu keras suara.
Dan ingat, kadang dalam sunyi itulah kualitas diri justru tumbuh paling subur.