![]() |
Ilustrasi AI |
Dalam buku-buku sejarah yang diajarkan dengan setengah mengantuk di sekolah, katanya dulu manusia mulai jadi manusia itu lewat era berburu dan berkumpul. Gathering. Ngumpul. Berkerumun. Istilah-istilah semacam itu akhirnya dianggap semacam wahyu sosial yang sakral: manusia tidak bisa hidup sendirian. Titik. Sampai-sampai, hari ini, kumpul-kumpul bukan sekadar aktivitas, tapi sudah jadi agama kecil yang orang-orang anut tanpa pernah mempertanyakan kenapa mereka sebenarnya ngumpul.
Tapi lucunya, sebelum segala keramaian itu dipuja-puja, kesepian sebenarnya sudah hadir lebih dulu. Kita ini, sombong betul soal kemampuan bersosialisasi, padahal sunyi sudah lebih dulu mengenalkan diri saat kita belum kenal siapa-siapa. Lahir saja, kita langsung nangis sekencang-kencangnya. Mungkin bayi itu kaget, kenapa sunyi nyaman di rahim tiba-tiba dibajak suara dunia? Atau barangkali, itu jeritan protes: “Hei, kembalikan sunyiku!”
Kalau mau jujur, dalam pecahan suara terkecil pun, atom dari semua itu tetaplah sunyi. Hampa. Kosong. Palung tiada dasar, yang kadang-kadang kita pura-pura tidak tahu.
Dalam rekayasa sosial ini, sunyi diletakkan di dua rak berbeda. Satu, sunyi sebagai lawan kata dari bunyi. Dua, sunyi sebagai saudara kandung dari sepi dan sendirian, yang diam-diam merupakan musuh bebuyutan dari keramaian dan eksistensi sosial.
Kalau kita mau main angka-angka: semua nada musik, dari pentatonis sampai diatonis, dilambangkan dengan angka 1, 2, 3, 4, 5, dan seterusnya. Tapi, kalau mau jujur, angka berapa yang pantas mewakili sunyi? Nol? Ya, mungkin. Tapi tunggu dulu. Benarkah nol itu lambang sunyi?
Nol, dalam tradisi Hindu kuno, memang berarti sunya: kosong, hampa, bebas dari segala hiruk-pikuk dunia. Fonem “sunya” ini bahkan sepupuan dengan “sunyi” yang kita kenal sekarang. Dalam logika Hindu, tubuh adalah penjara bagi ruh, dan kehidupan adalah samsara: lautan penderitaan yang saling berkelindan. Berkumpul? Ya, silakan saja, tapi yang kalian kumpulkan itu sebenarnya adalah kesengsaraan kolektif.
Moksa, dalam tradisi itu, berarti membebaskan ruh dari samsara, kembali ke keheningan murni. Tapi angka nol yang kita kenal hari ini, hasil kerja keras Al-Khawarizmi, tidak lagi mewakili kekosongan eksistensial. Nol, dalam logika angka modern, hanyalah jembatan. Sebuah cara manusia berbohong secara matematis bahwa “kekosongan” bisa dipakai untuk menghitung dan menumpuk sesuatu. Nol bukan kosong. Nol adalah kegagalan manusia memahami hampa. Nol adalah pura-pura tiada supaya tetap bisa berdagang. Alah, celeng betul.
Kesunyian yang sejati, nirbunyi, adalah kosongnya daun-daun saat angin malas lewat. Kesunyian ini setiap hari kita cicipi diam-diam, waktu suara luar hening, dan suara palung batin terdengar kencang. Saat itulah tubuh berhenti berisik, dan ruh kita, yang selama ini dipenjara hawa nafsu dan persepsi sosial, mulai berbicara. Itulah “nurani”. Sayangnya, nurani kita sering dikurung dalam sangkar sibuk, sangkar basa-basi, sangkar “biar kelihatan normal”.
Sunyi juga bisa berarti puncak kesepian. Yang lebih dalam dan lebih dingin dari sekadar tidak ada suara. Kita berjalan “langs stillere wegen”, lewat jalan-jalan yang bahkan angin malas berbisik di sana. Mabuk dalam jiwa sendiri. Dalam kondisi ini, segala dualitas, kanan-kiri, atas-bawah, benar-salah, runtuh. Yang ada cuma diam. Para sufi menyebutnya “mabuk Tuhan”. Manis sekaligus getir.
Kalau mau cari contoh nyata: Tan Malaka. Seorang diri, dipersekusi, dituduh, dikejar, tapi justru dari kesunyian itulah ia memproduksi pemikiran-pemikiran paling nyaring tentang kemerdekaan. Sampai ia berkata: “Di dalam kubur, suaraku akan lebih keras.” Sebuah janji sunyi yang akhirnya menampar dunia.
Atau Chairil Anwar. Dalam umur pendeknya, dia sudah tahu: “Nasib adalah kesunyian masing-masing.” Tidak ada pertolongan sosial di situ. Hanya ada kefanaan yang sekali berarti, sudah itu mati. Titik.
Sunyi ini, sebetulnya, adalah tempat terbaik untuk bertemu diri sendiri. Tempat kita berhenti sok suci, berhenti sok sibuk, berhenti berlomba siapa lebih banyak teman atau like. Di sunyi itu, manusia melepaskan kostum samsara dan bertemu ruhnya yang asli, yang jarang sekali kita beri kesempatan bicara.
Sayangnya, manusia hari ini terlalu sibuk untuk sekadar mampir berziarah ke sunyi. Terlalu asyik menari di atas kubangan samsara. Terlalu sibuk acting menjadi “makhluk sosial” padahal sebagian besar cuma aktor kelas menengah yang kelelahan.
Padahal, dunia ini, meminjam kata-kata Pram, hanyalah pasar malam. Bukan dunia di mana kita berduyun-duyun hidup dan mati bersama-sama. Tapi dunia di mana satu-satu, pelan-pelan, seorang-seorang, kita datang dan pergi. Dan yang belum pergi cuma bisa cemas-cemas menunggu giliran.
Maka sesungguhnya, kodrat kita adalah sendiri. Kita boleh kompak berdoa, boleh kompak nongkrong, tapi di ujungnya, kita harus berani turun ke dalam sumur sunyi. Menyusuri anak tangga kerendahan hati, mengetuk pintu demi pintu batin kita sendiri, sampai akhirnya berbincang dengan satu-satunya makhluk paling sunyi yang wajahnya… ya, wajah kita sendiri.