![]() |
Ilustrasi intelektual kosmetik (tim ngauris) |
Tri Dharma dan Mitos Formalitas
Masih ingat Tri Dharma Perguruan Tinggi? Yap, pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Tiga mantra suci yang terus diulang dalam pidato-pidato resmi, namun dalam praktiknya lebih sering menjadi hiasan dokumen akreditasi. Pendidikan difokuskan pada capaian angka. Penelitian? Banyak yang berakhir jadi tumpukan laporan tak terbaca. Pengabdian? Seringkali sekadar kegiatan formal yang diabadikan lewat dokumentasi untuk keperluan media sosial.
Tri Dharma kini tak lebih dari sekadar formalitas akademik. Seolah kampus bukan tempat mencetak manusia utuh, tetapi pabrik yang memproduksi tenaga kerja siap pakai, siap bekerja, siap tunduk, dan yang penting: tidak banyak tanya.
Ruang Dialektika yang Kini Jadi Spot Nongkrong
Dulu, gazebo kampus adalah tempat berdiskusi tentang filsafat, sejarah, dan persoalan-persoalan bangsa-negara. Hari ini, lebih sering menjadi tempat mahasiswa menyelesaikan tugas kelompok sambil scroll TikTok. Diskusi kritis tergeser oleh presentasi instan. Wacana dipotong-potong menjadi caption Instagram. Gagasan tinggal kenangan; yang penting, dapat sertifikat dan presensi penuh.
Ruang berpikir yang seharusnya menjadi jantung kehidupan intelektual mahasiswa perlahan hilang. Kampus kini dipenuhi dengan lomba, event, dan webinar yang lebih sibuk mengajarkan “cara membuat CV menarik” daripada mengasah kemampuan berpikir kritis atau memahami kondisi sosial bangsa.
Dari Agen Perubahan ke Agen Leasing
Mahasiswa hari ini begitu dekat dengan teknologi dan informasi, tetapi sering kali kehilangan arah untuk bertanya: “Semua ini untuk apa?” Mereka diajarkan untuk menjadi ‘siap kerja’, namun jarang diajak berpikir tentang dunia kerja itu sendiri: adilkah, berpihakkah, manusiawikah?
Mereka menjadi bagian dari sistem pendidikan yang menilai keberhasilan dari angka IPK, bukan dari kemampuan membaca realitas sosial. Akhirnya, banyak yang lulus sebagai robot yang rapi, taat, dan bisa multitasking, tetapi tak tahu harus berpihak ke mana, atau memperjuangkan apa.
WS Rendra dan Mimpi yang Kini Jadi Caption
Dalam konteks ini, puisi-puisi WS Rendra terasa begitu aktual, sekaligus menyedihkan. Ia pernah berkata, “Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa, mencatat sendiri semua gejala.” Sayangnya, mahasiswa sekarang memang keluar kampus, tapi untuk cari sinyal Wi-Fi dan tempat cozy buat ngonten.
Rendra menginginkan mahasiswa yang menghayati persoalan nyata, bukan mahasiswa yang lebih sibuk membuat konten vlog KKN aesthetic dengan backsound lo-fi. Pendidikan pun kehilangan ruh. Ia tidak lagi membentuk manusia berpikir, melainkan manusia yang mahir mengisi Google Form dan membuat portofolio digital.
Pendidikan Kehilangan Tujuan
Pendidikan tinggi seharusnya melahirkan manusia yang peka, kritis, dan mampu membaca zaman. Bukan sekadar individu dengan IPK tinggi dan soft skill ala pelatihan 3 hari. Jika perguruan tinggi terus menempuh jalan kapitalistik ini, memoles tanpa mendidik, mencetak tanpa membentuk, maka jangan heran jika yang lahir hanyalah lulusan yang bisa kerja, tapi tidak bisa ‘berpikir’.
Mungkin sudah saatnya kita jujur. Jika tujuan pendidikan hanya mencetak pekerja dan mengejar angka, ubah saja nama universitas menjadi Pabrik Pekerja Profesional Indonesia. Setidaknya, lebih jujur.