![]() |
Ilustrasi AI |
Ada dosa harian yang terus diulang umat manusia di seantero kosan, kontrakan, dan kamar kosan. Ia tidak tercatat dalam kitab hukum atau pasal pidana, tapi hidup dalam hati dan perut mereka yang sedang ragu.
Dilema itu bernama: “Satu bungkus mie kurang, dua bungkus kebanyakan.”
Ini bukan cuma soal logistik. Ini soal moral. Soal eksistensi. Soal apakah kita tega mencintai diri sendiri dengan porsi yang ideal, atau malah melanggar batas rasa kenyang demi rasa puas yang semu.
Hukum Kekekalan Lapar
Bayangkan, kamu berdiri di depan lemari dapur. Jam sudah lewat tengah malam. Dunia sunyi. Perutmu berisik. Kamu membuka laci dan melihatnya, dua bungkus mie instan tergeletak seperti pilihan hidup yang tak bisa dihindari.
Kamu menimbang dengan seksama. Bukan sekadar memasak. Ini kontemplasi.
“Kalau aku masak satu, kayaknya nanggung, “tapi kalau dua, nanti kekenyangan dan nyesel.”
Dan di situlah pergumulannya.
Dua Bungkus Adalah Jalan Menuju Pencerahan dan Penyesalan
Dua bungkus mie bukan sekadar makanan. Ia adalah simbol keberlimpahan dan keputusasaan yang bercampur dalam satu panci. Dalam dua bungkus, kamu merasa powerful. Kamu berkata, “Aku layak makan banyak.” Tapi sesaat setelahnya, kamu terduduk lesu. Napas pendek. Keringat mulai muncul. Pikiran mulai kacau.
Dua bungkus adalah jalan sempit menuju surga dan neraka yang belum tentu kamu lewati, tapi sudah kamu bayangkan rasanya. Bungkus kedua bukan masalah logistik, tapi eksistensi: belum kamu buka, tapi sudah kamu curigai sebagai sumber rasa eneg dan penyesalan. Karena kadang, yang membuatmu ragu bukan perutmu, tapi ruang kosong di dalam dirimu yang bingung: apakah aku butuh lebih, atau cuma ingin merasa penuh?
Jalan Tengah yang Sulit Ditempuh (satu setengah itu bid’ah!)
Sebagian orang mencoba kompromi: satu setengah bungkus. Tapi siapa yang bisa membagi mie dengan adil tanpa melukai rasa? Separuh bumbu? Separuh kuah? Itu seperti cinta yang setengah-setengah, tidak memuaskan, malah bikin tambah bingung.
Maka dari itu, sebagian umat menyerah pada nasib. “Biarlah satu kurang, asal tidak tersesat dalam dua.” Yang lain, lebih berani, berkata: “Kalau aku harus menyesal, setidaknya aku kenyang.”
Dan begitulah siklus itu terus berputar. Satu atau dua. Kurang atau lebih. Harapan atau rasa mual.
Mie dan Makna Hidup yang Tak Pernah Tetap
Barangkali, mie instan bukan cuma soal kenyang. Ia adalah cermin dari hidup modern: serba cepat, serba instan, tapi penuh pilihan yang membingungkan. Di setiap malam yang sunyi, kamu harus membuat keputusan yang tak diajarkan di sekolah:
“Apakah cukup itu soal jumlah, atau soal kemampuan menerima apa yang ada?”
Dan kadang, jawaban itu datang bukan dari mulut, tapi dari perut yang menjerit pelan di tengah malam, meminta bimbingan dan sambal ekstra.
Kita Semua Pernah Salah Ukur Soal Mie dan Hidup
Kita pernah berdiri di depan panci yang masih kosong, membawa dua bungkus mie dan hati yang ragu. Kita pernah memilih satu dan menyesal. Kita pernah memilih dua dan menyesal juga. Tapi begitulah manusia. Terus mencoba. Terus lapar. Terus mencari ukuran yang pas di antara kenyataan dan keinginan.
Dan kalau suatu malam kamu berdiri mematung di depan panci, sambil memegang dua bungkus mie dan satu keputusan absurd, ingatlah:
Tuhan mungkin tidak menjawab lewat wahyu, tapi kadang, lewat bisikan hati kecil yang berkata: “satu cukup, Nak. Jangan rakus, nanti eneg.”