![]() |
Sumber gambar: https://pin.it/4OM5TXUfP |
Ada satu aktivitas kuno yang bisa membuat manusia tetap waras di tengah hiruk-pikuk dunia yang semakin absurd. Aktivitas ini tidak memerlukan banyak modal, tidak butuh endorsement, dan tidak butuh followers. Namanya: membaca.
Mari kita jujur. Di zaman ini, informasi bertebaran di mana-mana seperti brosur pinjaman online. Tapi informasi yang bertebaran itu, sebagian besar hanya cocok untuk membuat kita panik, tersinggung, atau merasa punya pendapat meski belum paham apa yang sedang dibahas.
Membaca adalah tindakan subversif. Di tengah budaya instan yang meminta kita berkomentar tanpa sempat berpikir, membaca mengajarkan kita untuk diam, merenung, dan bertanya-tanya: “Sebentar, ini beneran make sense nggak sih?”
Membaca: Antara Tersesat dan Menemukan Diri Sendiri
Membaca buku itu kadang seperti masuk ke labirin tanpa peta. Kita mulai dari satu paragraf, lalu nyasar ke ide yang tidak kita duga. Kita kira sedang membaca tentang sejarah dunia, tiba-tiba kita merenungi kenapa manusia rela membunuh demi sepetak tanah.
Kita kira sedang membaca tentang biologi, tiba-tiba kita mempertanyakan kenapa kita hidup. Itulah kekuatan membaca: menyesatkan kita ke arah yang lebih dalam.
Membaca bukan soal menghafal fakta untuk debat warung kopi. Membaca adalah perjalanan jatuh cinta pada ketidaktahuan. Karena, semakin banyak kita membaca, semakin kita sadar bahwa kebodohan itu luas dan demokratis.
Semua orang bodoh dalam banyak hal. Yang membedakan hanyalah siapa yang mau mengakui dan memperbaikinya.
Dunia Tanpa Membaca: Distopia dalam Versi Nyata
Sekarang bayangkan dunia di mana tidak ada yang membaca. Semua orang hanya mengandalkan feeling, intuisi, dan satu-dua quotes Instagram. Semua orang berbicara tentang konspirasi global padahal tentang cara kerja Wi-Fi saja belum paham. Semua orang merasa dirinya ahli karena pernah nonton 30 detik video TikTok tentang “bagaimana membangun kerajaan bisnis dalam semalam”.
Distopia itu bukan zombie berlarian di jalanan. Distopia itu manusia hidup tanpa mau berpikir. Dan membaca adalah salah satu cara terakhir untuk bertahan dari wabah kebodohan ini.
Membaca, Seni Melambat di Zaman Serba Ngebut
Di dunia yang terobsesi dengan kecepatan, membaca mengajarkan seni melambat. Ketika semua orang berlomba untuk menjadi yang pertama memberi komentar, membaca melatih kita untuk berhenti sejenak dan berkata, “Tunggu, saya mau memahami ini dulu, sebelum ikut koar-koar di komentar.”
Membaca mengajarkan bahwa pemahaman itu tidak instan. Pemahaman itu seperti membuat rendang: perlu waktu, perlu sabar, dan kadang perlu sakit kepala kecil di awal sebelum akhirnya kita tersenyum karena rasanya pas.
Membaca sebagai Tindakan Radikal
Membaca adalah tindakan radikal di zaman malas berpikir. Membaca adalah upaya sadar untuk tidak jadi bagian dari kerumunan gaduh yang tidak tahu apa-apa tapi merasa paling benar.
Kalau kita merasa dunia ini terlalu bising, terlalu bodoh, terlalu cepat marah, terlalu gampang tersinggug, mungkin bukan dunia yang bermasalah. Mungkin kita saja yang kurang membaca.
Jadi, mari buka buku, bukan cuma buka mulut. Sebab di akhir zaman nanti, mungkin yang membedakan manusia dengan bot bukan lagi emosinya, tapi seberapa banyak dia benar-benar mau membaca sebelum bicara.