![]() |
Yazid Fanani (Wakil Ketua PDPM Ponorogo) |
Acara yang niatnya ingin jadi forum dialog dan refleksi malah berujung intimidasi. Padahal, suasana damai, tidak ada bakar-bakaran, tidak ada keributan, kecuali keributan dari mereka yang datang membubarkan.
Wakil Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Ponorogo, Yazid Fanani, menyampaikan kekecewaannya dengan cukup tajam, seolah sedang mengiris bawang tanpa ampun.
“Tentu saja, pembubaran acara seperti ini enggak cuma menghambat kebebasan berpendapat, tapi juga bisa menghalangi partisipasi publik untuk secara aktif berkontribusi dalam proses demokrasi. Harusnya panggung rakyat itu menjadi ruang bagi masyarakat bisa menyampaikan aspirasi,” terang Yazid. (4/6/2025)Yazid menambahkan bahwa pembubaran Panggung Rakyat melalui aksi premanisme tersebut merupakan alarm nyaring yang menandai bahwa kebebasan sipil semakin menyempit di tengah demokrasi yang semakin surut.
Alarm ini, sayangnya, tidak bisa ditunda seperti alarm bangun pagi. Kalau dibiarkan, lanjut Yazid, bisa menular jadi budaya baru: budaya takut. Budaya di mana orang lebih takut bikin diskusi daripada takut ditilang.
“Jika pembubaran Panggung Rakyat dan kegiatan lain dibiarkan begitu saja bisa menciptakan budaya ketakutan di kalangan masyarakat dan menghalangi akses mereka untuk menyampaikan pendapat,”Lebih Lanjut, Yazid minta Polres Ponorogo jangan hanya jadi penonton, tapi segera angkat peluit dan beri kartu merah pada pelaku intimidasi:
“Aksi premanisme dan pembubaran paksa acara diskusi dan kegiatan lainnya merupakan preseden buruk terhadap kebebasan berpendapat di Ponorogo,”Dan ini bukan hanya soal acara. Ini soal konstitusi. Soal hak yang tak boleh disunat oleh tekanan dari kelompok-kelompok intoleran. Begitulah. Demokrasi memang tidak selalu mudah, tapi setidaknya jangan dibikin susah-susah amat. (red)