Negeri yang Mampu Menghapus Kemiskinan dengan Excel

Oleh: Redaksi |
Sumber foto: BPS
OPINI,— Ada satu keajaiban yang hanya bisa ditemukan di negeri ini: kemiskinan bisa dihapus, cukup dengan klik tombol delete. Tidak perlu menaikkan upah, tidak usah repot memperbaiki layanan publik, apalagi harus mendengarkan keluhan rakyat di forum RT. Cukup bersihkan daftar penerima bantuan, lalu kirim datanya ke pusat, dan voila, rakyat kita resmi sejahtera. Setidaknya menurut spreadsheet.

Beberapa waktu lalu, jutaan orang tiba-tiba kehilangan akses ke layanan kesehatan. Kartu BPJS-nya mati. Bukan karena mereka malas bayar, karena mereka memang PBI alias ditanggung negara. Tapi negara kini merasa mereka sudah terlalu “berkecukupan” untuk ditanggung. Katanya, itu hasil validasi data terbaru. Dan validasi itu? Datangnya dari pemerintah daerah.

Inilah babak pertama dari sandiwara panjang bertajuk: “Ingin Terlihat Berhasil.” Sebab setiap kepala daerah ingin tampil cemerlang dalam rapat koordinasi. Turunnya angka kemiskinan adalah mahkota. Apalagi kalau bisa diceritakan di TikTok sambil senyum di atas panggung. Tapi membangun itu lama, hasilnya tak langsung. Maka yang bisa ditempuh adalah cara cepat, menurunkan angka, bukan realitas.

Caranya sederhana: bersih-bersih daftar orang miskin. Yang rumahnya pakai tembok? Coret. Punya motor tahun 2010? Coret. Punya anak kuliah yang nebeng WiFi kampus? Coret juga. Terlalu tua untuk ikut sensus digital? Maaf, tidak terdeteksi. Jadilah angka kemiskinan turun, bukan karena hidup orang-orang itu membaik, tapi karena mereka tak lagi dianggap layak dicatat.

Dan pusat pun percaya. Data yang dikirim daerah masuk ke dashboard nasional, disajikan dalam grafik manis, disampaikan ke publik dalam konferensi pers. “Jumlah penerima bantuan turun drastis, menandakan peningkatan kesejahteraan,” kata pejabat. Padahal di warung sebelah, seorang ibu sedang mengeluh karena tak bisa lagi berobat pakai BPJS. Lantaran kartunya dinonaktifkan, meski penghasilannya tak berubah, rumahnya masih bocor, dan utangnya tetap sama.

Kita hidup dalam ironi yang terorganisir. Negara ini pandai menciptakan ilusi: bahwa kemiskinan bisa dibereskan lewat reformasi data, bukan reformasi nasib. Bahwa mencoret nama dari sistem lebih murah daripada mengentaskan mereka dari kesulitan. Bahwa menyembunyikan orang miskin dari laporan adalah bentuk kemajuan. Lalu mereka menyebutnya efisiensi. Atau transformasi digital. Atau bahkan reformasi birokrasi.

Di negeri ini, semakin kecil angka kemiskinan dalam laporan, semakin besar kemungkinan rakyat sedang disingkirkan dari bantuan. Dan semakin senang kepala daerah dengan presentasinya, semakin kita patut curiga: siapa yang dikorbankan untuk membuat slide itu terlihat sukses?

Rakyat kecil selalu jadi objek, baik dalam penderitaan maupun dalam pencitraan. Hari ini mereka dibutuhkan untuk menaikkan angka partisipasi bantuan. Besok, mereka dihapus untuk menurunkan angka kemiskinan. Lusa, mereka akan dipanggil lagi saat butuh narasi keberpihakan. Tapi apakah hidup mereka berubah? Belum tentu. Karena dalam banyak kasus, kemiskinan itu bukan diatasi, tapi disamarkan.

Maka, kepada mereka yang kehilangan haknya, jangan terlalu berharap ada keadilan dari angka-angka. Negara ini tidak kehabisan dana, hanya kehabisan niat. Dan kepada para pemangku kebijakan yang merasa sudah berhasil, selamat. Anda telah membuat kemiskinan tampak hilang tanpa harus menyelesaikannya. Dunia statistik bertepuk tangan. Sementara rakyat pelan-pelan mati dalam diam.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS