Preman Spiritual: Rumor Akherat Jadi Ladang Bisnis

Oleh: Redaksi |
Kalau ada kesamaan kostum, itu adalah kebetulan semata
Di negeri yang penuh azan dan ayat motivasi ini, spiritualitas pelan-pelan menjelma jadi dagangan. Bukan lagi perkara batin yang sunyi, tapi bisnis eceran yang riuh. Yang dijual bukan hanya doa, tapi juga akses eksklusif ke Tuhan, paket lengkap dengan bonus air botol, testimoni ajaib, dan promo “beli 3, gratis berkah”. Lahirlah satu spesies baru yang harus kita waspadai: Preman Spiritual.

Mereka ini bukan sekadar penceramah. Mereka lebih mirip calo akhirat. Posisi mereka menggantung di antara nabi dan marketer. Berpenampilan suci, bersuara lembut, tapi kalau kamu beda pendapat, bisa langsung dikafirkan sambil senyum. Mereka paham algoritma lebih dari ayat. Mereka tak perlu angkat celurit, cukup angkat mikrofon, live dari mushola atau kamar tidur, dengan lighting surgawi dan judul clickbait.

Preman spiritual bukan cari Tuhan. Mereka cari traffic. Semua bentuk ibadah dijadikan konten. Tahajud di-live streaming, sedekah difoto, dan surga jadi seperti klub VIP: hanya yang punya QR code bisa masuk. Tiba-tiba, standar keimanan bukan lagi keheningan malam, tapi jumlah follower dan nominal saweran. Yang paling viral, dianggap paling saleh. Yang paling rame, dianggap paling dekat dengan Tuhan.

Dulu orang ke masjid cari tenang, sekarang kadang pulang dengan brosur properti syariah. Preman spiritual tahu, manusia modern bukan takut mati, tapi takut nggak punya rumah di akhirat. Maka dijualah paket: langganan doa, transfer pembersih dosa, investasi amal. Semua dibalut dalil dan slogan “ini ikhtiar akhirat”. Neraka jadi ancaman pemasaran. Surga jadi alat closing.

Premanisme ini bukan soal kekerasan fisik, tapi kekerasan batin. Mereka menekan dengan petuah, membungkam dengan dalil. Kalau kamu miskin, katanya kurang iman. Kalau kamu sakit, katanya kurang dzikir. Kalau kamu nanya, katanya kamu kurang adab. Mereka ini semacam malaikat versi birokrasi: banyak aturan, minim empati. Mereka hidup dari ceramah, pakai mobil sumbangan, selfie dengan pejabat, lalu bilang “kami hanya perantara”.

Yang paling ironis, mereka merasa berhak mewakili Tuhan. Padahal, Tuhan yang saya kenal (setidaknya dari diam-diam saya berbicara pada-Nya) tidak pernah pakai tarif. Tidak jualan paket penghapusan dosa. Tidak membuka cabang eksklusif di YouTube. Preman spiritual bukan soal agama tertentu. Ini soal mentalitas: menjadikan iman orang lain sebagai ladang kuasa. Dalam dunia yang lapar makna, mereka jadi pedagang ilusi, menjual kepastian, sambil menginjak keraguan orang lain.

Jadi kalau kamu menemukan spiritualitas yang lebih sering mengancam daripada memeluk, lebih rajin naikkan tarif daripada naikkan hati, mungkin itu bukan jalan cahaya. Mungkin itu jalan ke ATM. Karena yang menjual Tuhan secara retail biasanya tidak mencari imanmu. Dia mencari dompetmu.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS