![]() |
Ilustrasi - Mengenal Diri Lewat Barang yang Nggak Kita Butuh Tapi Kita Mau |
Kita sering diajari untuk “mengenal diri sendiri” lewat meditasi, jurnal harian, atau nonton video motivasi yang pakai musik latar dramatis. Tapi jujur saja, sebagian besar dari kita lebih sering menemukan diri kita yang sejati saat lagi checkout belanjaan online tengah malam. Bukan karena kita sadar, tapi karena kita lapar, baik lapar literal maupun lapar makna.
Dari sekian banyak cara memahami eksistensi, metode kapitalis punya pendekatan unik: kamu adalah apa yang kamu beli. Dan bukan, ini bukan kritik klise tentang konsumsi. Ini pengakuan jujur bahwa di dunia yang absurd ini, kadang keranjang belanja lebih jujur daripada KTP.
Dalam filsafat, ada istilah jouissance dari Lacan, kenikmatan yang menyakitkan karena kamu tahu itu tidak perlu, tapi tetap kamu lakukan. Belanja online adalah bentuk jouissance modern. Kita tidak membeli barang, kita membeli versi diri yang kita harapkan: versi yang lebih rapi, lebih glowing, lebih berguna, atau lebih bahagia.
Dalam dunia kapitalisme, iklan adalah teologi baru. Ia punya janji keselamatan, punya surga kecil dalam bentuk paket yang akan datang tiga hari lagi. Kita bukan lagi pembeli, tapi jemaat yang menunggu wahyu dalam bentuk notifikasi: “Paketmu telah dikirim.”
Wishlist adalah museum identitas alternatif. Di sana ada kamu yang rajin baca buku (tapi bukunya belum dibeli), kamu yang suka merawat diri (meski skincare-nya masih dikintipin doang), dan kamu yang pengin mulai hidup minimalis (tapi justru menumpuk keranjang virtual dengan barang-barang “calon minimalis”).
Mungkin kita tidak pernah tahu siapa diri kita sebenarnya. Tapi wishlist kita tahu.
Ada kekuatan dalam klik itu. Bahkan meski besok kamu menyesal dan berkata, “Ngapain aku beli penghilang bulu hidung elektrik?”, pada saat klik terjadi, kamu merasa utuh. Hidup punya arah, meski arahnya menuju kurir yang nyasar ke rumah tetangga.
Mungkin di dunia absurd ini, isi keranjang belanja bisa lebih jujur daripada tes MBTI. Dan mungkin, mengenal diri memang bukan soal menjauh dari dunia, tapi justru menertawakan keinginan-keinginan kecil yang muncul di tengah malam, sambil mikir: “Butuh banget nggak sih?”
Dan akhirnya tetap dibeli juga.
Barang sebagai Cermin Keinginan Terdalam
Lihat isi keranjang belanjamu. Ada sheet mask, kabel charger 3 in 1, lampu tidur bentuk awan, dan kemeja linen yang kamu nggak yakin akan cocok dipakai ke mana. Setiap barang itu adalah potongan dari dirimu yang tidak kamu sadari. Bukan karena kamu butuh, tapi karena kamu ingin.Dalam filsafat, ada istilah jouissance dari Lacan, kenikmatan yang menyakitkan karena kamu tahu itu tidak perlu, tapi tetap kamu lakukan. Belanja online adalah bentuk jouissance modern. Kita tidak membeli barang, kita membeli versi diri yang kita harapkan: versi yang lebih rapi, lebih glowing, lebih berguna, atau lebih bahagia.
Iklan Sebagai Injil Baru
Iklan tidak menawarkan barang. Ia menawarkan narasi tentang siapa kamu jika memiliki barang itu. Lip balm bukan sekadar pelembap bibir, tapi jembatan menuju cinta sejati (atau minimal bibir tidak pecah-pecah saat ngobrol sama gebetan). Sepatu lari? Simbol bahwa kamu peduli hidup sehat, meskipun terakhir olahraga saat pelajaran PJOK di SMA.Dalam dunia kapitalisme, iklan adalah teologi baru. Ia punya janji keselamatan, punya surga kecil dalam bentuk paket yang akan datang tiga hari lagi. Kita bukan lagi pembeli, tapi jemaat yang menunggu wahyu dalam bentuk notifikasi: “Paketmu telah dikirim.”
Diri yang Tercerai di Halaman Wishlist
Ada saat ketika kamu tidak jadi beli. Barangnya tetap di wishlist. Tidak dihapus, tapi juga tidak dipesan. Di situlah kamu melihat refleksi dirimu yang paling jujur: semua yang kamu inginkan tapi belum cukup nekat untuk diwujudkan.Wishlist adalah museum identitas alternatif. Di sana ada kamu yang rajin baca buku (tapi bukunya belum dibeli), kamu yang suka merawat diri (meski skincare-nya masih dikintipin doang), dan kamu yang pengin mulai hidup minimalis (tapi justru menumpuk keranjang virtual dengan barang-barang “calon minimalis”).
Mungkin kita tidak pernah tahu siapa diri kita sebenarnya. Tapi wishlist kita tahu.
Checkout sebagai Tindakan Filosofis
Nietzsche bilang, tindakan manusia harus didasari kehendak untuk berkuasa. Tapi dalam kapitalisme digital, kehendak itu diwujudkan dalam klik. Checkout adalah bentuk eksistensial: kamu memutuskan. Kamu mengambil tanggung jawab atas keinginanmu, saldo-mu, dan paket yang akan datang 3 hari kemudian (atau lebih lama kalau dikirim dari Cina).Ada kekuatan dalam klik itu. Bahkan meski besok kamu menyesal dan berkata, “Ngapain aku beli penghilang bulu hidung elektrik?”, pada saat klik terjadi, kamu merasa utuh. Hidup punya arah, meski arahnya menuju kurir yang nyasar ke rumah tetangga.
Kamu adalah Apa yang Kamu Inginkan (Beli)
Kapitalisme tidak memaksa. Ia hanya membuka etalase tak berujung dan berkata, “Silakan temukan dirimu.” Dan kita pun masuk, bukan untuk belanja, tapi untuk mencari tahu: siapa kita di antara ribuan barang yang bisa dipilih.Mungkin di dunia absurd ini, isi keranjang belanja bisa lebih jujur daripada tes MBTI. Dan mungkin, mengenal diri memang bukan soal menjauh dari dunia, tapi justru menertawakan keinginan-keinginan kecil yang muncul di tengah malam, sambil mikir: “Butuh banget nggak sih?”
Dan akhirnya tetap dibeli juga.