Plato menghina para penyair, Descartes bilang pengetahuan lama itu omong kosong, Nietzsche secara harfiah menyebut moralitas Kristen sebagai penyakit, Galileo dibungkam karena bilang bumi itu bulat, Freud menyebut agama sebagai ilusi. Dan semuanya itu bukan hasil dari sopan santun. Tapi keberanian untuk tidak bersikap manis di depan kebohongan.
Sopan-Santun Itu Topeng Moral
Kita hidup di zaman di mana sopan-santun lebih dihargai daripada kebenaran. Orang bisa berdusta asal katanya “baik”, orang bisa membela kebodohan asal caranya “lembut”. Padahal, sopan-santun yang dipertahankan mati-matian itu seringkali adalah upaya kolektif untuk tidak membicarakan kenyataan.Kita diajari untuk berkata “saya menghormati pendapat Anda”, meski pendapat itu menyakiti akal sehat. Kita diminta untuk “jangan menyudutkan keyakinan orang”, meski keyakinan itu merampas hak hidup orang lain. Ini bukan etika, tapi ketakutan berjubah moralitas.
Intelektual Itu Harus Brutal (Secara Ide)
Kebenaran bukan dicapai dengan sopan-sopan, tapi dengan membongkar, mengganggu, mengkritik yang disucikan, dan dengan ketulusan yang kadang terdengar kasar.Kalau kita menyebut diri intelektual, tapi alergi terhadap pertanyaan menyakitkan, kita bukan pencari kebenaran, tapi hanya pecinta suasana damai palsu. Bukan pemikir, hanya penikmat kenyamanan pikiran.
Pertanyaannya sederhana, Intelektual macam apa yang membela sopan-santun sebagai kebajikan utama? Yang menghindari debat tajam karena takut konflik? Yang lebih peduli menjaga suasana diskusi tetap adem, ketimbang menghantam kebodohan yang membeku?
Itu bukan intelektual, tapi pemadam pikiran. Dan sejarah tidak ditulis oleh mereka yang takut bertanya. Sejarah ditulis oleh mereka yang mau dibilang kasar, nyeleneh, bahkan sesat, asal jujur.
Kesimpulan Tidak Manis
Kalau ingin menjadi intelektual sejati, kita harus siap tidak disukai, siap dibilang tidak sopan, siap dimaki karena menggugat norma lapuk, karena kejujuran berpikir lebih penting daripada kesopanan sosial.Dan kalau kita masih mengira semua ini bisa dicapai dengan bahasa yang indah dan wajah kalem, maka kita belum tuntas membaca sejarah.