Mata Satu dan Prespektif Tunggal: Dajjal di Era Digital

Oleh: Redaksi |
https://hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/2018/04/30/141536/sinyal-dajjal-di-era-digital.html

Konon, di akhir zaman akan muncul makhluk misterius bernama Dajjal. Ia bukan sekadar tokoh antagonis dalam cerita kiamat, tapi lebih mirip influencer zaman akhir yang berhasil viral tanpa algoritma. Dajjal ini katanya punya satu mata, ini bukan sindiran buat orang yang pakai eye patch karena cosplay atau iritasi debu motor. Mata satu ini simbol, Bung. Simbol dari pandangan yang sempit tapi penuh keyakinan. Kayak netizen yang cuma baca judul, tapi langsung berani ceramah di kolom komentar.

Siapa Dajjal Sebenarnya?

Secara mitologis, Dajjal adalah figur akhir zaman dalam tradisi Islam. Tapi kalau kita bongkar lebih jauh pakai metode hermeneutika malas-malasan, Dajjal itu bisa jadi siapa saja. Bisa jadi sistem. Bisa jadi ideologi. Bahkan bisa jadi kamu, kalau terus-menerus menyebarkan hoaks hanya karena “katanya”. Dalam dunia yang penuh ilusi dan reels 15 detik ini, Dajjal mungkin tidak datang dengan tanduk dan api neraka, tapi lewat notifikasi.

Ia tak perlu menunggang keledai raksasa. Ia cukup numpang Wi-Fi dan algoritma. Ia cukup tahu kamu suka video kucing, lalu dia selipkan propaganda di antara meong-meong itu. Yang satu meong, yang satu menggiring opini.

Mata Satu, Perspektif Tunggal

Itu bukan soal kebutaan optik, tapi kebutaan etika dan logika. Dajjal punya satu mata karena dia hanya mau melihat apa yang dia suka. Dunia dibelah dua: ini benar, itu salah. Ini kami, itu mereka. Tak ada ruang untuk keraguan, padahal manusia hidup dari keraguan. Kalau semua yakin terus, itu bukan iman, itu overconfidence.

Coba lihat sekeliling. Bukankah kita sedang hidup di zaman Dajjal digital? Orang lebih percaya caption daripada kajian, lebih yakin video potongan 30 detik daripada sejarah panjang. Semua serba instan, dan yang tidak cocok langsung dicap sesat. Kamu beda dikit? Kafir. Salah ngomong? Cancel. Nggak setuju? “Unfollow aja, Bang.”

Dajjal dan Dunia Virtual

Kalau dulu Dajjal ditakuti karena sihir dan tipu dayanya, sekarang dia hadir dalam bentuk deepfake, chatbot nyamar jadi pacar, dan akun fake yang ngajak debat tapi ternyata bot Rusia. Dajjal sekarang nggak perlu menyihir air jadi api, cukup main filter dan voice changer.

Ia membentuk opini publik, mengatur narasi, bahkan bisa ikut pemilu (tanpa kampanye, tanpa visi-misi). Siapa Dajjal? Ia mungkin adalah admin yang ngedit realitas dengan Canva dan musik dramatis. Ia tahu kamu ingin percaya, jadi ia beri kamu ilusi yang paling kamu dambakan: bahwa kamu paling benar.

Melawan Dajjal (Versi Ngaco Tapi Bermakna)

Cara melawan Dajjal bukan dengan pedang, tapi dengan pikiran. Bukan dengan taktik konspirasi, tapi dengan kesadaran. Sadarlah bahwa kamu mungkin saja sudah ikut jadi anteknya, tiap kali kamu menyebar informasi tanpa pikir. Tiap kali kamu menjadikan kebencian sebagai bahan bakar interaksi. Tiap kali kamu menganggap dunia hanya dua warna: hitam dan putih, padahal realitas itu gradasi, dan kadang agak magenta.

Melawan Dajjal berarti membuka mata kedua. Mata batin. Mata kritis. Mata yang bisa melihat keragaman tanpa ketakutan. Mata yang sadar bahwa hidup ini absurd, dan kita semua cuma manusia yang kadang sok tahu.

Penutup: Dajjal Adalah Kita (Kadang-Kadang)

Kamu pikir Dajjal itu jauh, padahal bisa jadi dia sudah nge-like postingan kamu. Bisa jadi dia adalah kamu, waktu kamu pura-pura tahu semua soal politik, tapi sebenarnya cuma ngikutin tren Twitter. Dajjal itu bukan hanya makhluk. Ia adalah mentalitas. Ia adalah keinginan untuk jadi pusat semesta, meski cuma modal konten ngadi-ngadi.

Jadi, sebelum sibuk nunjuk, mari tanya diri:

Apakah aku sedang melihat dengan dua mata?

Atau cuma mata satu, plus ego segede planet Mars?

Kalau iya, mungkin kita semua sedang main peran dalam drama akhir zaman ini, dengan outfit stylish, caption keren, tapi hati yang belum selesai.

Kalau kamu suka tulisan ini, hati-hati. Jangan-jangan aku juga Dajjal. Tapi tenang, Dajjal yang satu ini suka ngelawak dan gak minum darah. Cuma ngopi, sambil mikir: “Kenapa sih kita lebih takut Dajjal daripada jadi manusia bebal?”

Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS