![]() |
Ilustrasi AI |
Di sebuah negeri pesisir dalam wilayah Kerajaan Marwah, hiduplah sekelompok bangsawan muda bersurban biru yang mengaku sebagai penjaga akhlak. Mereka bukan ahli siasat, bukan pula pemetik dawai kebenaran, tapi lebih mirip prajurit yang kerjanya mengintai tirai, mengendus kasur, dan mengusir insan-insan yang tidur tidak sesuai protokol kerajaan.
Dengan penuh semangat mereka menghadap abdi dalem dan penjaga praja, membawa gulungan keresahan akan rumah-rumah sewa yang konon menjadi sarang maksiat. Mereka bersumpah demi nama kesucian negeri, bahwa tak satu pun ranjang boleh digunakan tanpa restu adat dan norma luhur.
Namun, di saat yang sama, pembangunan istana baru bagi Sang Pengawas Raja sedang berlangsung. Biayanya fantastis, tiga peti emas penuh. Padahal rakyat sedang diminta berhemat, ladang tak terairi sampai jalan-jalan dibiarkan berdebu. Tapi rupanya, kenyamanan para pengawas lebih utama ketimbang perut rakyat.
Anehnya, para bangsawan biru tadi mendadak bungkam. Tak ada lontaran kritik, tak ada orasi, apalagi protes. Mereka yang begitu berani menyisir kamar rakyat kecil, ternyata terlalu sibuk merapikan jubah untuk menggugat para pembangun istana.
Lebih menggelitik lagi, beberapa dari mereka, sebelum mengenakan surban biru dan berbicara tentang moral, pernah pula melintasi lorong-lorong sepi di malam hari. Tapi itulah indahnya negeri ini bahwa masa lalu dapat dipoles, dosa bisa dilupakan, asal kini berseru dengan nyaring atas nama etika.
Dan begitulah kisah Negeri Marwah. Di mana prajurit ranjang lebih sibuk mengejar kelambu rakyat jelata, ketimbang menantang pembangunan istana yang tak masuk akal. Di mana yang bersuara soal kesalahan, justru lupa bercermin pada noda di jubah sendiri.
Mungkin, di masa depan, yang mereka butuhkan bukan hanya kaca untuk bercermin, tapi juga keberanian untuk menatap singgasana, bukan hanya ranjang rakyat jelata.