Tapi jika kita periksa dengan kacamata kritis, sebenarnya pernyataan ini menyimpan persoalan mendasar, bagaimana mungkin seseorang bisa beradab tanpa terlebih dahulu memiliki ilmu? Bukankah adab itu sendiri adalah ilmu?
Dengan kata lain, adab tidak mungkin hadir dalam kekosongan intelektual. Ia dibentuk oleh nilai, oleh pengetahuan, oleh pembacaan terhadap situasi sosial. Maka jika seseorang lahir di lingkungan yang salah, tanpa akses pengetahuan yang memadai, ia bisa tumbuh tanpa “adab”, bukan karena ia tidak bermoral, tapi karena ia tidak tahu bagaimana seharusnya bersikap.
Jadi alih-alih “adab sebelum ilmu”, mungkin lebih jujur dan adil jika kita katakan: “adab adalah bagian dari ilmu itu sendiri.” Atau jika mau lebih filosofis: Adab bukan pendahulu ilmu, tapi ekspresi dari ilmu yang matang.
Adab adalah pengetahuan tentang bagaimana bersikap, dalam bicara, dalam mendengar, tidak menyela saat guru sedang menerangkan, dan tidak meludah sembarangan waktu rapat penting. Semua itu butuh proses belajar, butuh ilmu, bukan hanya insting. Harus diajarkan, diberitahu, dicontohkan dan dijelaskan. Artinya: adab adalah hasil belajar. Dan kalau itu hasil belajar, ya berarti itu ilmu juga. Bukan sesuatu yang muncul duluan secara otomatis, lalu disusul oleh ilmu lain seperti matematika, filsafat, atau ngaji tafsir.
Adab itu butuh refleksi, dan refleksi itu kerjaannya ilmu. Tanpa ilmu, adab cuma jadi daftar aturan tanpa makna: jangan begini, jangan begitu, harus hormat, harus sopan. Tapi kenapa? Untuk apa? Apakah semua otoritas layak dihormati? Apakah diam itu selalu bentuk adab?
Ilmu membantu kita memilah: kapan diam itu bijak, dan kapan diam itu pengecut, mengajari kita bahwa hormat bukan berarti membenarkan semua yang lebih tua. Dan, ilmu membekali kita dengan alat untuk bertanya, bukan cuma untuk tunduk.
Inilah letak bahayanya ketika “adab sebelum ilmu” dijadikan dogma yang kaku. Ia bisa berubah menjadi alat untuk membungkam pertanyaan, untuk memaksa anak-anak muda agar patuh tanpa berpikir. Di ruang kelas, ia bisa menjelma menjadi larangan untuk kritis. Di ruang publik, ia bisa dipakai untuk menuduh siapa pun yang berbeda pendapat sebagai “tidak tahu tata krama”. Padahal, dalam banyak situasi, yang disebut “tidak beradab” hanyalah keberanian untuk berpikir di luar barisan.
Lebih dari itu, jika kita melihat sejarah keilmuan, tokoh-tokoh besar, baik dalam Islam maupun tradisi Barat, justru menunjukkan bahwa adab tumbuh seiring dengan pendalaman ilmu. Bukan diajarkan secara terpisah, apalagi ditempatkan sebagai syarat sebelum berpikir. Mereka belajar berpikir kritis dan, di saat yang sama, belajar bagaimana menjaga respek kepada sesama. Mereka tidak memisahkan etika dari epistemologi. Justru adab mereka lahir dari proses panjang pencarian makna.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita koreksi slogan tersebut. Bukan “dahulukan adab sebelum ilmu”, tapi Adab dan ilmu tumbuh bersama.” Adab bukan fondasi yang selesai sebelum gedung ilmu dibangun. Ia justru tumbuh di dalam proses membangun itu sendiri.
Keduanya tidak harus bertengkar soal siapa yang duluan. Sebab dalam kenyataannya, adab dan ilmu tumbuh bersama, saling menghidupi. Kita belajar berpikir sambil belajar bersikap. Kita belajar bicara sambil belajar mendengar. Kita belajar mencari kebenaran sambil belajar untuk tidak merasa paling benar.
Dengan kata lain, adab tidak mungkin hadir dalam kekosongan intelektual. Ia dibentuk oleh nilai, oleh pengetahuan, oleh pembacaan terhadap situasi sosial. Maka jika seseorang lahir di lingkungan yang salah, tanpa akses pengetahuan yang memadai, ia bisa tumbuh tanpa “adab”, bukan karena ia tidak bermoral, tapi karena ia tidak tahu bagaimana seharusnya bersikap.
Jadi alih-alih “adab sebelum ilmu”, mungkin lebih jujur dan adil jika kita katakan: “adab adalah bagian dari ilmu itu sendiri.” Atau jika mau lebih filosofis: Adab bukan pendahulu ilmu, tapi ekspresi dari ilmu yang matang.
Orang nggak mungkin beradab tanpa tahu kenapa harus beradab. Kalau seseorang diam saat orang bicara hanya karena takut dimarahi, itu bukan adab, tapi takut. Kalau seorang murid menghormati guru hanya karena tekanan sosial, itu juga bukan adab, tapi performa. Adab tanpa ilmu bukan adab, bisa jadi itu hanya kepatuhan kosong, atau bahkan kemunafikan sopan.
Sering kali, kita menyamakan adab dengan sopan santun. Tapi adab yang sejati tidak sekadar soal gestur sosial. Ia tidak berhenti pada ucapan “permisi” atau “terima kasih”. Adab adalah hasil dari refleksi, dari pemahaman yang matang tentang hubungan antar manusia, tentang etika, tentang nilai. Ia membutuhkan nalar. Ia membutuhkan pengetahuan yang mendalam. Adab bukan sekadar mengikuti aturan, tapi juga memahami mengapa aturan itu ada dan kapan ia harus dipertanyakan.
Adab itu butuh refleksi, dan refleksi itu kerjaannya ilmu. Tanpa ilmu, adab cuma jadi daftar aturan tanpa makna: jangan begini, jangan begitu, harus hormat, harus sopan. Tapi kenapa? Untuk apa? Apakah semua otoritas layak dihormati? Apakah diam itu selalu bentuk adab?
Ilmu membantu kita memilah: kapan diam itu bijak, dan kapan diam itu pengecut, mengajari kita bahwa hormat bukan berarti membenarkan semua yang lebih tua. Dan, ilmu membekali kita dengan alat untuk bertanya, bukan cuma untuk tunduk.
Inilah letak bahayanya ketika “adab sebelum ilmu” dijadikan dogma yang kaku. Ia bisa berubah menjadi alat untuk membungkam pertanyaan, untuk memaksa anak-anak muda agar patuh tanpa berpikir. Di ruang kelas, ia bisa menjelma menjadi larangan untuk kritis. Di ruang publik, ia bisa dipakai untuk menuduh siapa pun yang berbeda pendapat sebagai “tidak tahu tata krama”. Padahal, dalam banyak situasi, yang disebut “tidak beradab” hanyalah keberanian untuk berpikir di luar barisan.
Lebih dari itu, jika kita melihat sejarah keilmuan, tokoh-tokoh besar, baik dalam Islam maupun tradisi Barat, justru menunjukkan bahwa adab tumbuh seiring dengan pendalaman ilmu. Bukan diajarkan secara terpisah, apalagi ditempatkan sebagai syarat sebelum berpikir. Mereka belajar berpikir kritis dan, di saat yang sama, belajar bagaimana menjaga respek kepada sesama. Mereka tidak memisahkan etika dari epistemologi. Justru adab mereka lahir dari proses panjang pencarian makna.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita koreksi slogan tersebut. Bukan “dahulukan adab sebelum ilmu”, tapi Adab dan ilmu tumbuh bersama.” Adab bukan fondasi yang selesai sebelum gedung ilmu dibangun. Ia justru tumbuh di dalam proses membangun itu sendiri.
Keduanya tidak harus bertengkar soal siapa yang duluan. Sebab dalam kenyataannya, adab dan ilmu tumbuh bersama, saling menghidupi. Kita belajar berpikir sambil belajar bersikap. Kita belajar bicara sambil belajar mendengar. Kita belajar mencari kebenaran sambil belajar untuk tidak merasa paling benar.