![]() |
Ilustrasi Siti Jenar | Sumber foto: https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTXoTL3oOGFexyUziSHgvo5L5qgNghhy8mXbg&usqp=CAU |
Kalau sejarah adalah panggung besar tempat orang waras pura-pura suci, maka Syeikh Siti Jenar adalah tokoh yang terlalu jujur untuk hidup lama di atasnya. Ia bukan sekadar tokoh kontroversial dalam sejarah Islam di Nusantara, tapi juga simbol dari apa yang terjadi ketika spiritualitas melawan institusi, dan kejujuran eksistensial menantang tata sosial.
Siti Jenar bukan cuma pengajar tasawuf. Ia adalah suara dari dalam diri manusia yang bosan pada kebohongan formalitas dan ingin menyingkap hakikat hidup, meskipun harus dibayar dengan tubuhnya sendiri.
Syeikh Siti Jenar, dalam beberapa manuskrip disebut juga Syekh Lemah Abang, hidup pada sekitar abad ke-15 hingga awal abad ke-16, di masa transisi besar Jawa dari Hindu-Buddha ke Islam. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh Wali Songo versi liar: tidak pernah masuk daftar resmi, tapi tak pernah absen dalam bisik-bisik warung dan manuskrip-manuskrip tua yang berani.
Dikenal sebagai guru spiritual, Siti Jenar menyebarkan ajaran wahdatul wujud (kesatuan eksistensi), yaitu paham bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah Tuhan. Ia mengajarkan bahwa hakikat manusia tidak terpisah dari hakikat Ilahi. Manusia adalah Tuhan, bukan dalam arti literal dan pongah, tapi dalam pengalaman spiritual yang total dan menyatu.
Masalahnya, ajaran semacam itu tidak cocok untuk politik. Ketika Wali Songo dan Kesultanan Demak sedang membangun tata Islam yang terstruktur, tertib, dan bisa dipakai untuk menyatukan masyarakat, Siti Jenar datang dengan ajaran yang meledakkan semua itu dari dalam.
Ia bilang, surga dan neraka adalah simbol, syariat hanyalah kulit, dan yang paling mengguncang: “Aku adalah Tuhan.”
Bukan karena ia mengklaim ketuhanan secara arogan, tapi karena ia merasa dirinya sudah melebur total dalam Tuhan, seperti halnya air sungai yang sampai di lautan tidak lagi punya nama.
Tapi bagi mereka yang sedang membangun kekuasaan, pernyataan ini dianggap sesat. Terlalu radikal. Terlalu bahaya. Dan lebih dari itu: terlalu merdeka untuk dikendalikan.
Cerita tentang akhir hidup Siti Jenar bervariasi. Ada versi yang mengatakan ia dihukum mati oleh Wali Songo. Ada yang bilang ia sengaja menyerahkan diri. Ada pula yang meyakini ia tidak benar-benar mati, hanya “menghilang” dari dunia yang tidak lagi mampu menampungnya.
Apapun versinya, kematiannya bukan sekadar hukuman, tapi simbol dari bagaimana kebenaran eksistensial seringkali tak punya tempat di dunia yang dikuasai oleh institusi dan tata tertib. Ia adalah Socrates-nya Jawa. Dibunuh karena mengajukan pertanyaan yang terlalu dalam di zaman yang terlalu takut.
Siti Jenar mungkin adalah salah satu contoh paling tragis dari pertarungan antara dua jenis agama: agama sebagai sistem sosial yang perlu dijaga tatanannya, dan agama sebagai pengalaman batin yang membebaskan manusia dari semua tatanan.
Ia berdiri di kubu kedua. Ia mengajarkan bahwa untuk sampai pada Tuhan, manusia harus melewati ego, melepas identitas, bahkan membongkar agamanya sendiri. Dan tentu saja, itu bukan hal yang bisa diterima oleh para penjaga pagar.
Di zaman sekarang, kita mungkin tidak lagi membakar orang karena dianggap sesat. Tapi kita masih sering membungkam suara-suara jujur yang menyelisihi narasi dominan. Siti Jenar hidup hari ini dalam bentuk: dosen yang dipecat karena terlalu bebas berpikir, aktivis yang dituduh radikal karena terlalu cinta rakyat, atau bahkan konten kreator yang kena sensor karena terlalu tepat sasaran.
Siti Jenar mengingatkan kita bahwa terkadang, keberanian spiritual adalah bentuk tertinggi dari perlawanan politik. Karena di saat semua orang sibuk membenarkan sistem, ia sibuk mempertanyakan eksistensi.
Tak semua orang bisa jadi Siti Jenar. Tapi semua orang, dalam hidupnya, pasti pernah merasa seperti Siti Jenar: sendiri, melawan arus, dan dihukum hanya karena berpikir terlalu dalam.
Dan di saat-saat itu, mungkin satu-satunya cara untuk tetap waras adalah percaya bahwa “yang sesungguhnya hidup tak butuh pengakuan dari dunia yang sedang sekarat.”